Mohon tunggu...
Judistian Pratama
Judistian Pratama Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Peminat Teologi

Orang biasa yang berusaha untuk melakukan yang terbaik

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Berteologi Publik di Ruang Digital Melalui Pendekatan Budaya

13 Mei 2022   11:04 Diperbarui: 13 Mei 2022   11:16 889
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Saat ini kita semua tidak asing dengan dunia digital. Mau tidak mau, suka tidak suka makin lama kehidupan kita semakin akrab dengan dunia digital dan ruang-ruang digital. Berbagai aktivitas manusia terjadi di ruang-ruang digital. Banyak orang sudah mulai terbiasa bekerja di ruang-ruang digital. Sehari-hari banyak terjadi interaksi yang terjadi di ruang-ruang digital, entah dengan orang yang kita kenal maupun tidak kita kenal. Bahkan kini, manusia dapat memenuhi berbagai kebutuhannya melalui dan di dalam ruang-ruang digital ini. Tidak dapat dipungkiri bahwa ruang-ruang digital ini juga menjadi locus yang kontekstual dalam kehidupan masyarakat. Bagi sebagian orang realitas ini adalah sebuah keniscayaan, namun ada juga yang menganggapnya sebagai momok yang menakutkan.

Kehidupan di ruang-ruang digital memang tidak selalu indah dan memukau, tetapi ternyata juga memprihatinkan dan mungkin menyeramkan. Cobalah lihat dan cermati data yang dipaparkan oleh Microsoft. Pada tahun 2021 yang lalu perusahaan besar ini merilis hasil studi tahunan mereka tentang keadaban digital masyarakat dunia pada umumnya. 

Hasil studi ini memperlihatkan bahwa Indonesia berada di peringkat 29 dari total 32 negara (Indonesia News Center 2021). Ini artinya Indonesia menjadi negara dengan tingkat kesopanan digital paling rendah di Asia Tenggara. Warganet atau netizen Indonesia dinilai sebagai pengguna internet dengan tingkat kesopanan yang buruk. Ada tiga faktor yang disoroti yang memengaruhi risiko kesopanan warganet di Indonesia. Faktor paling tinggi adalah hoax dan penipuan yang naik 13 poin menjadi 47%, lalu faktor ujaran kebencian (hate speech) naik 5 poin menjadi 13%, dan yang terakhir adalah diskriminasi, yang turun 2 poin ke angka 13%. Tentu saja hasil penelitian ini bukan hal yang menggembirakan.

Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana warga gereja yang juga menjadi bagian warga masyarakat merespons realitas ini? Apa yang dapat dilakukan untuk menunjukkan peran dan tanggungjawab warga gereja dalam menjawab tantangan zaman di era digital? Landasan apa yang dapat dipakai sebagai dasar pijak warga gereja? Dalam tulisan ini saya akan mencoba menawarkan pendekatan budaya khususnya dalam budaya masyarakat Sunda yaitu melalui falsafah Silih Asih, Silih Asah, Silih Asuh.

Realitas Manusia di Ruang-ruang Digital.

Ruang-ruang digital, dengan berbagai kemajuan teknologi yang menyertainya, menjadi salah satu unsur yang turut membentuk dan membangun komunitas dalam masyarakat global. Jika demikian, manusia sebagai komunitas yang hidup dan berada di ruang-ruang digital disebut sebagai manusia digital (homo digitalis). Istilah homo digitalis ini dipakai oleh Prof. Dr. Fransisco Budi Hardiman untuk melihat sebuah perubahan besar dalam peradaban manusia yang muncul karena perkembangan teknologi digital yang sangat signifikan. Dalam bukunya yang berjudul Aku Klik Maka Aku Ada: Manusia dalam revolusi digital, Hardiman berpendapat bahwa perubahan besar dalam komunikasi digital bukan hanya mengubah gaya hidup manusia, tetapi juga pemahaman manusia tentang realitas dan tentang dirinya sendiri. Lebih lanjut, ia melihat sebuah keniscayaan tentang perubahan atau lebih tepatnya peralihan manusia dari homo sapiens menjadi homo digitalis. Menurutnya, saat ini ponsel pintar telah menjadi eksistensi pikiran manusia. Homo digitalis yang dimaksud di sini bukan hanya sekadar manusia sebagai pengguna gawai, tetapi juga manusia yang menunjukkan eksistensinya dengan tindakan-tindakan digital seperti uploading, chatting, posting, dan selfie. Realitas masyarakat digital ini dapat ditemukan misalnya dalam berbagai platform atau aplikasi media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram, Whatsapp, Telegram, dll.

Dalam sebuah artikel, Yahya Afandi mengatakan bahwa gereja perlu mengambil kesempatan ini untuk berteologi di ruang-ruang digital sebagai sarana untuk melaksanakan Amanat Agung di era digital. Saya setuju dengan pendapat ini mengingat kenyataan pada saat ini bahwa masyarakat semakin akrab dengan ruang-ruang digital. Apalagi jika kita menyadari keberadaan kita, seperti yang dikemukakan oleh Hardiman bahwa manusia digital itu bukan hanya manusia sebagai pengguna gawai, tetapi, lebih dari itu juga turut merakit realitas digital.

Peran Komunitas menurut Stanley Hauerwas.

Stanley Hauerwas adalah seorang profesor di bidang etika Kristen. Dalam pandangannya tentang etika publik, Hauerwas berangkat dari kesadaran bahwa komunitas dapat terbentuk karena narasi tradisi yang dipegang oleh tiap anggotanya. Ia mengatakan bahwa hakikat dan struktur etika itu ditentukan oleh partikularitas yang dimiliki oleh komunitas. Dalam hal ini ia menunjuk pada gereja sebagai komunitas Kristen yang muncul karena memegang narasi-narasi yang menjadi tradisi Kekristenan. Oleh karena itu, ia mengatakan bahwa tugas pertama dari etika sosial gereja adalah menjadi komunitas yang melayani. Identitas sebagai bagian dari komunitas gereja harus menjadi identitas yang utama untuk ditunjukkan seseorang meskipun di saat yang sama seorang Kristen dapat menjadi anggota dari banyak komunitas. Menurut Hauerwas, penting bagi orang Kristen untuk menjadi agen moralitas.

Hauerwas menyebut gereja sebagai komunitas yang khas (distinctive society). Maksudnya adalah gereja atau orang-orang Kristen harus mampu menjadi komunitas yang mampu mengimplementasikan nilai-nilai moral dalam Kekristenan dalam menjawab berbagai macam problematika di dalam kehidupan sehari-hari. Dalam pandangan Hauerwas, dunia ini sedang mengalami kebangkrutan moral. Pandangan ini dapat dibenarkan saat kita menjumpai berbagai realitas seperti berita-berita bohong (hoax), ujaran-ujaran kebencian (hate speech), dan berbagai bentuk kekerasan yang masih banyak terjadi. Oleh karena itu, menurutnya, saat ini diperlukan sebuah upaya yang memformulasikan sebuah moralitas universal yang mampu membawa keteraturan serta menguatkan perdamaian. Hauerwas mengajak kita mengingat kembali bahwa yang membuat gereja menjadi gereja adalah kesetiaan yang sungguh-sungguh dalam menghadirkan kerajaan yang damai di dalam dunia. Inilah yang membedakan gereja sebagai komunitas dengan komunitas lain. Keunikan menjadi Kristen merupakan hal penting bagi Hauerwas. Artinya, menjadi seorang Kristen harus mampu menampilkan ajaran-ajaran Kristiani dalam setiap tindakannya. Inilah yang menjadi identitas Kristen. Gereja adalah a social ethic bagi Hauerwas. Tugas panggilan etis sosial gereja sebagai komunitas ini menjadi pondasi dalam teologi publik Hauerwas. Narasi-narasi Kekristenan merupakan komponen utama bagi komunitas Kristen untuk berperan dalam berbagai isu-isu publik. Hauerwas memperlihatkan pentingnya kekhasan identitas Kristiani dalam komunitas Kristen sebagai titik tolak dalam berteologi publik.

Joas Adiprasetya mengungkapkan bahwa yang menjadi kekuatan teologi Hauerwas adalah komunitas dan narasi. Kedua hal ini yang mendorong dan memengaruhi komunitas Kristen untuk menampilkan tradisi kebajikannya di ruang-ruang publik. Dengan memperlihatkan kekhasan tradisi dan kebajikannya, gereja sebagai komunitas Kristen dapat memberi kontribusi di ruang-ruang publik. Menurut Adiprasetya, gagasan Hauerwas ini memberikan dasar yang cukup dalam upaya menggagas teologi publik dalam konteks Indonesia, yakni komunitas dan tradisi. Akan tetapi, ia juga memberikan dua catatan penting terkait hal ini. Dalam sebuah artikel berjudul “In Search Of A Christian Public Theology In The Indonesian Context Today.” Joas Adiprasetya mengatakan, 

"First, a community with a tradition of virtues could demonstrate its collective uniqueness in relation to other communities or traditions. But, any linguistic system such as the postliberal (intra-)textualism requires its members to perform some values under certain standards. Thus, if virtues and characteristics belong to the linguistic rule of a given community, through which selves try to fit themselves to the desired virtues, then the danger of sameness and homogeneity is obvious. Second, in an extremely complex society such as Indonesia, turning-to-tradition is not enough. Unless the Christian community becomes an open community, permeable to other communities, the danger of sectarianism and fideism is obvious."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun