Mohon tunggu...
Judika B.M.
Judika B.M. Mohon Tunggu... -

Pemilik nama Judika B.M. saat ini bekerja di media Aplaus the Lifestyle (www.aplausthelifestyle.com) sebagai jurnalis. Sering kali email, telepon, atau sms yang masuk, menyapa dengan sebutan 'mas, abang, pak'. \r\n\r\nI am a big fan of Maliq & D'Essentials. Saya itu orangnya nggak ribet. Suka bertemu dengan banyak orang. Punya banyak impian. Selalu punya topik obrolan kalau udah ketemu dengan orang. Bawaannya selalu ngoceh.\r\n\r\nSaya suka menghitung: hari, tanggal, juga uang! :D Memiliki ketergantungan terhadap: cokelat, susu, teh, kopi, jalan-jalan, kuliner, dan tentunya novel. \r\n\r\nFave quotes saat ini: \r\n- Every thing happen for a reason. \r\n- If we believe on something and just keep on trying, we will survive (Beautiful Life, Maliq & D’Essentials)

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Sebuah Pelajaran dari Bocah Kecil, Tukang Becak dan Hujan

8 November 2011   11:11 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:55 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

*Sudah pernah diposting di halaman facebook pada hari Senin 31 August 31 2009 pukul 10:38pm

Pemandangan gelap di luar beberapa puluh menit lalu masih menari-nari di pikaranku. Mulai dari gemuruh yang tak henti-hentinya memancarkan kilat, angin malam yang menusuk sekujur tulang--bahkan ketika aku berteriak, angin itu tak akan berhenti menerpa--, sampai guyuran air hujan yang lebih mirip seperti batu kerikil yang dilemparkan ke badan, semua masih terasa di seluruh badan sampai detik saat jari-jari ini seolah sedang bermain engklek di atas tuts keyboard komputer ini..

Semula kupikir, kenapa hujan deras ini harus turun saat aku sedang berdedikasi dengan pekerjaanku. Padahal aroma jeruk hangat yang disajikan pramusaji di komplek Singapore Station tadi sudah cukup menghangatkan--yang kumaksud lebih ke arah pikiran. Dan ketika kulihat gemuruh semakin tak bersahabat, konon lagi angin yang menari-nari semakin menikmati tarian mereka, aku pun memutuskan untuk menunggu mereka beristirahat sejenak. Sampai ketika 'mereka' sudah memutuskan untuk diam sebentar, aku pun mengambil kunci motorku, menyalakan kemudi, lalu menancapkan gas--berharap 'mereka' masih lelah dengan tari-tarian yang tadi.

Tapi dugaanku salah. Kumpulan hujan dan angin yang ditemani kilat semakin menjadi-jadi manakala aku baru berada sepertiga dalam perjalanan. Kontan aku mau berteriak, "Hei!!! Aku kedinginginan!" Namun, sekejap bibirku kelu, mungkin karena deras hujan yang menusuk jaketku terlalu tajam sampai seolah-olah meninggalkan bekas yang dalam. Padahal dia dan teman-temannya hanya air.. Ah, aku terus mengeluh merintik kedinginan di sepanjang jalan. Belum lagi kawanan hujan itu kini membentuk genangan air berwarna coklat setinggi betis di sepanjang jalan. Dan aku kembali berteriak (di dalam hati), "He! Kakiku terendam! Hei! Aku hampir bertabrakan dengan kendaraan di depanku!" Dan, "Hei! Banyak lubang-lubang besar di jalan yang tak kelihatan! Bagaimana kalau aku terperosok ke dalam?!" Ahh, begitu gerutuku...

Sampai di persimpan lampu merah, aku melihat seorang bapak tukang becak sedang mendorong becaknya. Aku pikir, becaknya mungkin mendadak mati karena banjir semakin meninggi. Padahal di dalam becak itu, ada 2 orang penumpang. Dan orang-orang lain sibuk memaki-maki karena dia begitu lamban mendorong becaknya. Jelas!! Dia mendorong dengan tenaganya kawan!! Bukan dengan mesin! Jadi kau harus bersabar pikirku.

Belum 10 menit kurasa pemandangan si bapak tukang becak di depanku, seorang anak kecil basah kuyup sedang memeras pakaian lusuhnya di tepi parit. Ahhh... Aku tak sanggup melihatnya. Seakan tertampar, aku baru sadar bahwa dari tadi aku hanya terus menggerutu dan mengeluh. Padahal kedua orang yang kutemui di jalan tadi bahkan seolah tidak mempersalahkan apa pun. Entah mereka sudah makan, aku pun tak tahu. Padahal, sebelum turun ke jalan, segelas susu hangat dan jeruk hangat sudah kuhabiskan untuk berjaga-jaga di jalan.

Aku mengeluh kedinginan di sepanjang jalan. Padahal bocah kecil yang kurus tadi (terlihat dari tulang-tulang rusuknya yang menonjol ke luar) tidak berkata apa-apa manakala baju tipisnya begitu basah. Entah kenapa jam segitu dia masih di luar, aku pun tak tahu.. Sedang si bapak tukang becak yang harus mengantar pelanggannya, juga tidak menyalahkan cuaca sama sekali..
Untuk kalian, terima kasih karena kalian sudah mengingatkanku untuk belajar tidak mengeluh..
Terima kasih..

Medan, 31 Agustus 2009
9:40 pm

Judika BM

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun