Mohon tunggu...
Julius Deliawan
Julius Deliawan Mohon Tunggu... Guru - https://www.instagram.com/juliusdeliawan/

Guru yang belajar dan mengajar menulis. Email : juliusdeliawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Pilih Hak Angket Apa Pengadilan Rakyat?

24 Februari 2024   22:37 Diperbarui: 24 Februari 2024   23:00 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemilu curang, memang nggak bikin asik jalannya demokrasi. Kalau tidak salah dengar dari mendengar kata pengamat, biasanya ada tiga tahap. Mulai tahapan sebelum Pemilu dimulai, saat pelaksanaan, dan tahap setelah Pemilu dilaksanakan. Mengingat prosesnya belum selesai dan perbincangannya masih ramai, saya coba ikutan nimbrung. Siapa tahu, benang kusut, sengkarut Pemilu yang katanya begitu, ini mendapat sedikit pencerahan. Kalau tidak, ya mohon maaf.

Belakangan, mas Ganjar, gencar bicara soal kecurangan. Ujungnya dia ngusulin hak angket DPR, yang konon kabarnya itu adalah hak konstitusi yang melekat pada anggota DPR, tujuannya melakukan penyelidikan yang lebih mendalam tentang kecurangan Pemilu yang telah terjadi. Sasarannya, bisa ke penyelenggara Pemilu atau juga ke pemerintah yang sedang berkuasa. Ini bukan menang kalah, tetapi tentang mengungkap kebenaran, begitu komentar para nitizen yang mendukung langkah mas Ganjar. BIsa diterima.

Seperti apa yang saya sampaikan diatas, kecurangan yang nantinya bisa ditelusuri itu bisa dibedah pada tiga ranah. Proses sebelum, pada saat, dan proses setelah. Sedikit menduga berdasar perbincangan pengamat politik yang kini jadi pada laris manis di TV dan Media social, sedikit banyak saya tahu apa yang nantinya akan diangkat sebagai senjata mempertanyakan kinerja para "terdakwa" itu.

Pada saat sebelum Pemilu, proses pendaftaran calon peserta Pemilu utamanya Capres dan Cawapres ada yang dinilai "cacat etika". Mas Wali, belum cukup umur di UU Pemilu sebelum keputusan MK. Begitu MK ketuk palu memenangkan gugatan salah satu warga, mas Wali jadi memenuhi syarat. Tapi naas hakim-hakim MK dianggag melanggar etika. Tetapi itu tidak menghentikan langkah melenggangnya mas wali ke KPU. Ternyata di sini juga bermasalah, KPU dianggap melanggar etika. Dua lembaga negara ini jadi korbannya mas wali sepertinya. Tetapi toh pernyataannya jelas, kedua putusan pelanggaran etika itu tidak berarti mempengaruhi hasil keputusan yang telah ditetapkan. Jadi jelas ya, legal formal, mas wali sah sebagai calon presiden.

Masih soal sebelum Pemilu dimulai, kata "cawe-cawe" viral. Lantas oleh sebagian pihak, pernyataan ini dipahami bahwa presiden berpihak pada salah satu calon. Caranya beragam, satu diantaranya bahkan dianggap cara paling sukses adalah dengan menggelontorkan Bantuan Sosial alias Bansos. Penggelontoran Bansos ini dinilai berhasil merayu rakyat untuk memilih paslon yang diinginkan presiden.

Lantas, melangkah pada saat Pemilu berlangsung. Muncul kasus-kasus seperti surat suara sudah tercoblos, politik uang, satu orang mencoblos lebih dari satu surat suara, dan masih banyak temuan lainnya. Dan pada saat rekapitulasi, ternyata Sirekap, alat bantu yang dipakai untuk transparansi proses perhitungan Pemilu bermasalah. Ini menambah kekuatan untuk membawa Penyelenggara Pemilu dan juga pemerintah pada meja pertanggungjawaban yang namanya hak angket.

Sebagai warga negara, yang dalam banyak kesempatan dilarang untuk golput, pengin juga mengomentari keinginan mas Ganjar dan koalisinya ini. Karena para pengamat dan politisi selalu bilang, suara rakyat itu suara tuhan.

Saya mulai dari calon wakil presiden yang "cacat etika". Saya sepakat, dikemudian hari, seandaianya mas wali benar terpilih, putusan MKMK dan DKPP bisa menjadi beban sejarah. Di tengah politik yang dinamis, ini bisa menjadi senjata yang selalu akan diungkit oleh lawan-lawan politik. Perjalanan pemerintahan menjadi tidak terlalu mulus.  Tetapi karena ini politik, semuanya menjadi sangat tergantung bagaimana kepentingan diakomodir.

Guru besar, meski mengaku netral, tapi titik serangnya jelas menyasar ke siapa. Bahkan di hari tenang pun, kampanye menyerang salah satu paslon masih berlanjut melalui film Dirty Vote. Tetapi setelah ada di bilik suara, ingat, sekali lagi ingat, rakyat yang sudah memenuhi persyaratan sesuai perundang-undanganlah yang memutuskan. Apapun keputusannya, itu adalah hak rakyat secara pribadi, tidak ada yang boleh mengintervensi apalagi mencela pilihan hati nurani setiap pribadi itu.

Pada poin ini, mari kita jujur. Pada saat hari pencoblosan ditempat saya, tidak ada kejadian yang mengganggu jalannya kegiatan tersebut, bahkan hingga perhitungan suara selesai. KPPS bekerja di TPS yang menjadi tanggungjawabnya masing-masing. Tanpa gesekan apapun, meski fakta menunjukkan, pilihan kami warga berbeda-beda. Semua tertawa bersama, kami kenal siapa-siapa para petugas itu, tetangga kami, para relawan yang bersedia kerja berat, bukan orang asing yang datang menjadi petugas di tempat kami. Bagaimana dengan tempat Anda ?

Guru besar mengingatkan kondisi bangsa, itu baik. Film Dirty Vote mengingatkan bagaimana kami pemilih seharusnya mempertimbangkan pilihan itu sangat baik. Namun, pilihannya tetap ada pada pribadi masing-masing. Artinya, jangan lantas rakyat dianggap bodoh dengan pilihannya, hanya karena tidak sama dengan kemauan para guru besar dan pembuat film Dirty Vote. Karena kesannya, itu yang terjadi.

Jika masing-masing kita jujur, apakah benar kecurangan di hari H itu semasif pemberitaan media? Saya tidak terlalu yakin. Namun bukan berarti tidak ada. Seandainya pun ada, Pemilu itu dilengkapi perangkat perangkat seperti Bawaslu dan DKPP. Lapor saja pada lembaga tersebut. Jangan hanya ketika keputusannya mengatakan "tidak etis" dipercaya, tetapi soal lapor kecurangan tidak percaya. Ini namanya standar ganda.

 Soal etis dan tidak etis, rakyat dengan hati nuraninya telah melakukan peradilannya sendiri. Apakah sekarang, giliran suara rakyat tidak sesuai harapan lantas bilang, suara rakyat itu bukan suara tuhan. Bisa kualat tujuh turunan nanti. Apalagi membandingkan suara rakyat dengan hak angket dewan, jelas jauh beda soal prinsip kebenaran yang nantinya diperoleh. Kenapa, karena apapun alasannya, hak angket itu proses politik dan proses politik itu ukurannya adalah kepentingan. Lihat saja, belum apa-apa,  banyak pengamat sudah memetakan kekuatan-kekuatan politik yang nantinya membahas hak angket. Apakah kebenaran hasil tawar menawar kepentingan seperti itu yang dinamakan kebenaran ? Belum lagi, ini bisa menjadi alat provokasi rakyat yang beda pilihan untuk berbenturan. Padahal mereka katanya dididik mengutamakan kepentingan bangsa dan negara diatas kepentingan pribadi dan golongan. Rasanya saya jadi ingin tertawa, tapi tidak mentertawakan mereka, Cuma lucu aja. Tetapi ya sudahlah, kita lihat saja nanti bagaimana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun