Mohon tunggu...
Julius Deliawan
Julius Deliawan Mohon Tunggu... Guru - https://www.instagram.com/juliusdeliawan/

Guru yang belajar dan mengajar menulis. Email : juliusdeliawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Pilih Hak Angket Apa Pengadilan Rakyat?

24 Februari 2024   22:37 Diperbarui: 24 Februari 2024   23:00 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.vidio.com/watch/8076881-soal-hak-angket-pemilu-jusuf-kalla-kalau-tidak-ada-apa-apa-tak-usah-khawatir

Guru besar mengingatkan kondisi bangsa, itu baik. Film Dirty Vote mengingatkan bagaimana kami pemilih seharusnya mempertimbangkan pilihan itu sangat baik. Namun, pilihannya tetap ada pada pribadi masing-masing. Artinya, jangan lantas rakyat dianggap bodoh dengan pilihannya, hanya karena tidak sama dengan kemauan para guru besar dan pembuat film Dirty Vote. Karena kesannya, itu yang terjadi.

Jika masing-masing kita jujur, apakah benar kecurangan di hari H itu semasif pemberitaan media? Saya tidak terlalu yakin. Namun bukan berarti tidak ada. Seandainya pun ada, Pemilu itu dilengkapi perangkat perangkat seperti Bawaslu dan DKPP. Lapor saja pada lembaga tersebut. Jangan hanya ketika keputusannya mengatakan "tidak etis" dipercaya, tetapi soal lapor kecurangan tidak percaya. Ini namanya standar ganda.

 Soal etis dan tidak etis, rakyat dengan hati nuraninya telah melakukan peradilannya sendiri. Apakah sekarang, giliran suara rakyat tidak sesuai harapan lantas bilang, suara rakyat itu bukan suara tuhan. Bisa kualat tujuh turunan nanti. Apalagi membandingkan suara rakyat dengan hak angket dewan, jelas jauh beda soal prinsip kebenaran yang nantinya diperoleh. Kenapa, karena apapun alasannya, hak angket itu proses politik dan proses politik itu ukurannya adalah kepentingan. Lihat saja, belum apa-apa,  banyak pengamat sudah memetakan kekuatan-kekuatan politik yang nantinya membahas hak angket. Apakah kebenaran hasil tawar menawar kepentingan seperti itu yang dinamakan kebenaran ? Belum lagi, ini bisa menjadi alat provokasi rakyat yang beda pilihan untuk berbenturan. Padahal mereka katanya dididik mengutamakan kepentingan bangsa dan negara diatas kepentingan pribadi dan golongan. Rasanya saya jadi ingin tertawa, tapi tidak mentertawakan mereka, Cuma lucu aja. Tetapi ya sudahlah, kita lihat saja nanti bagaimana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun