Di mata saya Mario Dandy Saputra (MDS) Â ini memiliki kesaktian. Tendangan 'maut'. Andai saja dia seorang atlit olahraga beladiri, patut dibanggakan. Betapa tidak, Â sekali tendang, bukan hanya korban, Â David yang secara fisik dan mental menderita. Namun teman dan pacarnya berhasil masuk bui, Keluarganya turut pula 'porak-poranda'. Sekali tendang, semua lini kocar kacir. Bahkan, pegawai satu kementerian dibuat kalang kabut. Sekelas menko pun harus ikut campur tangan. Hanya karena ulah seorang pemuda yang sedang dimabuk asmara.
Cinta memang buta, ingin membuktikan bahwa sebagai pacar ia punya harga diri, maka semua kehebohan terjadi. Sayangnya, skenario menjadi pahlawan ternyata berbalik, nasibnya justru jadi bulan-bulanan.
Prilaku arogan pemuda yang baru saja remaja ini lepas kendali. Atau jangan-jangan memang tidak pernah ada yang mengendalikan, sehingga ia merasa bebas melakukan apa saja. Karena dimatanya semua bisa diselesaikan dengan materi yang keluarganya punya. Dia tidak tahu, bahwa itu pulalah yang ternyata kini meluluhlantakkan karier orang tuanya, yang dia andalkan itu.
Unggahan kekerasan yang MDS lakukan berujung pada 'serbuan' netizen dari berbagai lini. Mengulik lebih jauh sosok pelaku dan menemukan fakta, yang sebenarnya bukan rahasia, karena terpajang dan sengaja dipajang di sosial media. Ternyata, ia adalah anak seorang pejabat publik yang punya segalanya, tidak sebanding dengan penghasilan yang seharusnya.
Kegemaran pamer MDS dan mamanya mencuri perhatian. Sangat wajar, netizen julid, bukan ngiri sama tetangga yang punya segalanya, sama sekali bukan. Ini soal fungsi pengawasan dalam masyarakat demokrasi. Terlebih pejabat dimaksud berkecimpung diranah sensitive, keuangan negara, yang rawan tindakan korupsi dan penyelewengan.
Benar dan tidaknya, biarlah proses hukum yang menentukan, namun sebagai warga masyarakat yang membayar pajak, saya berharap hukum benar-benar dapat ditegakkan.
Saya prihatin dengan apa yang terjadi. Namun disisi yang lain, kejadian ini mengungkap fakta yang selama ini hanya tercium baunya, tetapi sulit pembuktiannya. Sebatas desas desus umum, gossip warga yang bikin semarak warung kopi.
Reformasi mental penyelenggara negara, tidak berjalan seperti yang diharapkan, barangkali masih sangat jauh. Untungnya, media sosial menyingkap banyak rahasia, yang sesungguhnya terpampang nyata. Bahkan dengan sukarela, mereka secara sadar menunjukkan pada publik. Mengunggah kemewahan untuk mendapat banyak perhatian dan kekaguman. Tampil eksis. Bagi mereka, eksistensi seseorangn itu diukur dari apa yang dipunya. Soal darimana itu didapat, tidak penting.
Pasca kejadian MDS dan hiruk pikuknya, banyak unggahan di media sosial yang menghilang. Patut diduga sebenarnya mereka juga bagian yang perlu dicurigai dan diperiksa. Jika jujur, kenapa takut ? Â Atau mungkin mengikuti anjuran ibu menteri, karena pamer harta itu sangat tidak patut. Tetapi persoalannya, tidak pamer, bukan berarti tidak memiliki kan? Bisa saja dia hanya tidak mengunggahnya. Justru akan lebih sulit bagi masyarakat untuk mengontrolnya.
Tidak patut, saya sepakat, namun disisi yang lain aturan pejabat dan keluarganya dilarang pamer harta akan menyulitkan pengawasan. Menurut saya, biarkan sajalah, karena dengan pamer harta yang mereka lakukan, bisa memudahkan masyarakat melaporkan adanya ketidakwajaran. Jadi semacam 'LHKPN' versi sosial media.Â