Wacana menunda Pemilu, bergulir beberapa waktu yang lalu. Dalihnya, pemulihan ekonomi pasca pandemi sebagai skala prioritas. Menurut saya, usulan ini cukup menarik, setidaknya bagi para pengamat, bisa tampil di TV atau bahan ngonten di Youtube. Sementara saya, Â bahan untuk ngompasiana, siapa tahu bisa ngehit, kan bisa gajian di akhir bulan.
Tetapi usulan ini tanggung, itu yang saya pikirkan, dan mungkin juga bagi para politikus di Senayan yang menolak. Karena menunda itu, cepat atau lambat akan terlaksana. Beda cerita jika meniadakan, cepat atau lambat nggak bakalan kejadian. Â Jadi ada kepastian, posisi mereka tidak tergantikan hingga saatnya tiba. Tidak perlu bingung mikirin mahar politik, yang ada tinggal menikmati hasil jerih payah.
Mengapa saya berpikir meniadakan saja, ini demi kesejahteraan bersama, alias kebahagiaan rakyat Indonesia. Setidaknya, saya punya dua alasan.
Pertama, Seberapa sering kita mendengar di media, bahwa rakyat alias kita merasa sakit hati pada wakilnya di parlemen. Merasa di bohongi oleh janji-janji politik. Masihkah kita membiarkan dari waktu ke waktu terluka? Jika iya, benar-benar  raja tega. Maka lebih baik, yang sudah terjadi, sudahlah. Tetapi jangan ulangi lagi.
Meniadakan pemilu, menutup peluang janji palsu itu terulang lagi. Dan menutup peluang orang baik tergelincir dalam dosa karena terpaksa janji tapi  nggak bisa menepati. Menyelamatkan dua pihak, rakyat dan wakil rakyat.
Kedua, sedari periode pertama, hingga periode yang kedua, presiden Jokowi dikenal sebagai presiden yang banyak utang. Bahkan mungkin hutang yang ia buat, akan menjadi tanggungan rakyat hingga tujuh turunan. Membahas ini menurut saya menjadi penting. Mengapa ? Karena tidak seharusnya kita membiarkan orang yang punya hutang lari dari tanggungjawab. Dia yang berhutang, maka wajib menyelesaikannya.
Bisa dibayangkan berapa lama seorang Jokowi akan sanggup membayar hutang yang sudah ia buat. Tetapi ia harus mempertanggungjawabkannya, bahkan jika mungkin pertanggungjawaban itu tidak hanya sampai ke Gibran atau Kaesang. Jika perlu, Jan Ethes, tidak menutup kemungkinan hingga ke cucunya Lembah Manah.
Lagian kita belum tahu sampai keturunan keberapa hutang ini lunas, maka lebih baik meniadakan Pemilu saja dan baru kemudian berpikir menyelenggarakan lagi jika utangnya telah benar-benar lunas. Saya pikir ini cukup adil. Meski itu adalah masa cicit dari cicitnya Jan Ethes. Salam hangat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H