Mohon tunggu...
Julius Deliawan
Julius Deliawan Mohon Tunggu... Guru - https://www.instagram.com/juliusdeliawan/

Guru yang belajar dan mengajar menulis. Email : juliusdeliawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Melawan Itu Seksi

30 Mei 2020   09:27 Diperbarui: 30 Mei 2020   09:27 355
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Sudah lama mas?"

"Baru saja."

Alina meletakkan beberapa buku di sampingku. Memutar tas Alpina biru dari punggungnya. Tanpa ragu, ia duduk di sampingku. Di keteduhan rindangnya sudut lapangan,  depan Gedung B. Saksi dari perjalanan sejarah panjang universitas.

"Kamu nggak ikutan di sana mas?"

"Kan di sini."

"Yah,.."

"Aku tadi di sana."

Di kejauhan, sudut lain lapangan. Depan plaza E. Masih tampak kerumunan mahasiswa. Duduk santai, sesekali berteriak sambil mengepalkan tangan kiri ke atas. Mendengar beberapa mahasiswa dan dosen yang bergantian berorasi. Di bawah kerindangan pohon sengon laut yang mulai menua.

Bukit demokrasi, kami menyebutnya. Mimbar bebas, begitu aktifitas itu diberi nama. Demonstrasi sebagian lain mengatakan. Tidak penting bagaimana mereka menyebut, intinya ini adalah cara kami mengekspresikan diri atas realitas yang kini sedang melanda bangsa ini. Tradisi, yang lahir dari kebebasan mimbar akademik yang konon kabarnya dimiliki oleh Lembaga yang bernama universitas. Tidak dimiliki oleh Lembaga lain. Itu pun penerapannya sangat terbatas. Jadi meski cuma di kerindangan pohon dan jauh dari kata megah, ini tetap merupakan ruang ekslusif.

"Mas yakin perjuangan  ini akan membuahkan hasil?"

Kupandangi sosok yang ada disebelahku ini. Sengaja, ketika ia sedang tidak menatapku. Tetapi mengarahkan pandangan ke kerumunan, yang teriakannya sayup terdengar. Berkali-kali, kata "reformasi" terdengar lantang di tengah keriuhan. Meski lamat-lamat di telingaku.

Alina, mahasiswi baru yang kini benar-benar mengisi hariku. Membuat sunyiku menjadi berwarna ketika menghadirkan sosoknya di kepalaku. Hari ini,  memang dia bukan siapa-siapaku, setidaknya belum. 

Tetapi perlahan keyakinanku tumbuh. Ia tidak keberatan mengangkat telponku meski harus mendengar diantara desingan kendaraan. Menerimaku, meski tanpa bunga di tanganku saat aku datang di kosannya.  Membiarkanku menunggunya, di luar kelas. Tanpa ragu menyapa teman-temannya ketika aku ada disampingnya untuk mengantarnya pulang, setiap kali selesai kuliah malam.

 "Setiap hal yang dilakukan, pastinya didasari oleh keyakinan. Tetapi seandainya tidak. Setidaknya sudah berbuat."

Ia masih belum menatapku. Aku suka itu. Karena dengan begitu aku memiliki banyak waktu untuk mengagumi mahluk Tuhan yang cantik ini.

Sebagai gadis Tionghoa, Alina tidak sipit. Tetapi aku tahu, darah leluhurnya itu mengalir kental. Itu hakikat yang melekat padanya. Termasuk konstruksi dan stigma yang terlanjur dilekatkan pada orang-orang seperti dia. Bagi sebagian, ini adalah pilihan untuk tetap berada pada framing itu. Tetapi tidak bagi Alina, ia ingin keluar dari kungkungan stigma itu. Bahkan pernah suatu kali dia bilang ingin menjadi guru dan pegawai negeri. Cerita yang langka setidaknya di telingaku.

Sebagai aktifis, aku sedang mengganggu rezim, atau lebih tepatnya menggelitik. Mungkin saja, setiap pergerakan hanya akan terasa menggelikan. Beberapa kali Alina juga mengatakan, bahwa apa yang aku dan banyak teman lakukan ini hanya seperti perjuangan yang membentur-benturkan diri ke tembok yang tebal. Bahkan ia mengibaratkan tembok itu dengan tembok besar Cina. Hanya akan membuat yang melakukannya berdarah-darah. Tembok itu akan tetap berdiri kokoh.

Cengkeraman rezim dan alat pemukulnya terlalu kuat. Tidak hanya berkuasa dijajaran birokrasi, tetapi juga menghegemoni di hampir semua lini kehidupan masyarakat. Ini yang sulit. Abege yang baru lulus SMA itu pernah satu kali bilang begitu. Aku melongo dibuatnya.  Alina tidak hanya sempurna di mataku, tetapi juga dirasa batinku. Bisa menjadi temanku membicarakan idealisme-utopiaku. Aku semakin berharap, ke depan hari-hariku semakin sempurna.

Ia juga sedang berjuang, tetapi tidak dengan membenturkan dirinya sepertiku. Ia hanya ingin menjadi bagian yang dapat menundukkan persepsi. Pemberontakannya akan ia lakukan dengan menggugurkan stigma. Ia akan melakukan untuk dirinya, syukur dapat menginspirasi yang lainnya. Karena menurutnya, bagaimanapun orang-orang seperti dirinya adalah anak kandung dari negeri ini. Bagian integral yang tidak bisa dipisah-pisahkan. Apalagi dengan kata receh yang bernama pribumi dan nonpribumi.

Belum lama mengenalnya. Setiap kali berjalan bersamanya menyusuri remangnya jalan Kemiri, aku seperti sedang menggali bagian terdalam dari diriku. Aku dipaksa mencari dan terus mencari apa yang sebenarnya sedang aku lakukan saat ini.

Ia bukan gadis manja seperti juga stigma yang terlanjur kulekatkan pada gadis-gadis seusianya. Generasi instan yang cuek, tidak peduli pada banyak hal, apalagi bicara perubahan negeri. Terlalu berat. Tetapi itu semua runtuh ketika aku mengenal Alina.

"Mas.."

Alina berhenti. Padahal kosnya masih perlu banyak langkah lagi. Ini mirip seperti satu bagian dari scene sinetron ketika para pelokannya ingin saling berbicara. Atau Alina juga sedang membawaku pada suasana sinetron-sinetronan. Aku sempat juga tergelak, tetapi hanya dalam batinku saja. Jangankan Alina, telingaku pun tidak mendengarnya. Intinya, sedang banyak tanya di kepalaku. Karena dia tidak hanya mengajak langkahku berhenti. Tetapi juga menatapku lekat. Sesuatu yang selama ini ingin kuhindari. Jujur aku tidak kuat menatap pesonanya.

"Kok begitu mas?"

Alina melihatku kebingungan. Pasti ekspresi wajahku kelihatan begitu ketika ia menatapku. Aku tidak berani bilang mukaku sedang merona. Itu tidak mungkin terlihat dengan kulit gelapku ini. Apalagi temaramnya lampu tidak akan cukup membuatku terlihat begitu.  

"Mas, aku mau  bilang. Dimataku, kamu dengan semua hal yang kamu lakukan, itu  seksi."

Gleg ! Itu bunyi dari bagian dalam mulut, seperti ada yang tertelan. Begitu dalam cerita-cerita novel yang kubaca. Kira-kira begitu juga aku mengekspresikan apa yang terjadi. Alina benar-benar membuatku mati kutu. Demonstran yang sering berdiri sambil berteriak lantang itu terkulai dalam satu kata, seksi. Amboi, aku mulai membaca masa depanku. Bagaimana menurutmu pembaca?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun