Lalu kata Yesus: "Suruhlah orang-orang itu duduk." Adapun di tempat itu banyak rumput. Lalu Ia berkata kepada murid-murid-Nya: "Suruhlah mereka duduk berkelompok-kelompok, kira-kira lima puluh orang sekelompok."
Murid-murid melakukannya dan menyuruh semua orang banyak itu duduk. Maka duduklah orang-orang itu berkelompok-kelompok, ada yang seratus, ada yang lima puluh orang, kira-kira lima ribu laki-laki banyaknya, di atas rumput hijau.
Lalu Yesus mengambil lima roti dan dua ikan itu, Yesus menengadah ke langit dan mengucap berkat syukur, lalu memecah-mecahkan roti itu dan memberikannya kepada murid-murid-Nya, supaya dibagi-bagikan kepada orang-orang itu; begitu juga kedua ikan itu dibagi-bagikan-Nya kepada semua mereka yang duduk di situ, sebanyak yang mereka kehendaki. Dan mereka semuanya makan sampai kenyang.
Yang ikut makan kira-kira lima ribu laki-laki, tidak termasuk perempuan dan anak-anak.
Ketika semua orang sudah kenyang, Yesus berkata kepada murid-murid-Nya: "Kumpulkanlah potongan-potongan yang lebih supaya tidak ada yang terbuang. Maka merekapun mengumpulkannya, dan mengisi dua belas bakul penuh dengan potongan-potongan dari kelima roti jelai yang lebih setelah orang makan, selain daripada sisa-sisa ikan.
Demikian kira-kira kisah tersebut dituliskan dalam keempat Injil. Lantas apa yang bisa dipelajari dari kisahtersebut terkait dengan kata terjebak?
Murid Yesus Pun Terjebak dan Anak Kecil Sebagai Solusi
Jika kita cermati kisah di atas, terdapat kegelisahan yang dirasakan oleh para murid Yesus menyikapi kerumunan yang antusias pada pengajaran Yesus. Terlepas dari motivasi yang membuat mereka berkerumun. Itu barangkali dapat dibahas menggunakan kontek pendekatan yang berbeda.
Kegelisahan yang sangat manusiawi. Pertama, mereka, Yesus dan para murid adalah penyebab orang-orang berkerumun. Sehingga mereka para murid Yesus merasa bahwa merekalah actor yang paling bertanggungjawab atas terjadinya kerumunan itu.
Sementara, atau yang kedua, hari sudah mulai malam, dan orang-orang tersebut belum makan malam. Padahal mereka berada di tempat yang sunyi. Jauh dari akses makanan dan sudah barang tentu penginapan, tempat mereka beristirahat.
Kegelisahan ketiga, sebagai pihak yang bertanggungjawab, mereka tidak memiliki apa-apa sebagai solusi. Dan yang barangkali cukup mengejutkan, ketika mereka mendiskusikan hal tersebut pada sosok yang mereka anggap dapat memberi solusi justru mengembalikan tanggungjawab itu ke pundak mereka para murid. Menurut saya itu benar-benar menjebak. Posisi yang membuat mereka para murid benar-benar tidak berdaya.