Mohon tunggu...
Julius Deliawan
Julius Deliawan Mohon Tunggu... Guru - https://www.instagram.com/juliusdeliawan/

Guru yang belajar dan mengajar menulis. Email : juliusdeliawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Menemukan Pasirku Sendiri

3 Mei 2020   08:00 Diperbarui: 3 Mei 2020   08:02 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Cinta itu, seperti pasir di dalam genggaman. Semakin erat kamu menggenggamnya, maka semakin banyak yang akan berhamburan keluar."

 Sepertinya, para pujangga cinta itu hidup di pantai. Sehingga dengan mudah ia menemukan pasir, sang cinta itu. Sementara, bagaimana dengan mereka yang hidup di pedalaman hutan hujan tropis? Rawa tak berkesudahan sepanjang lelah mata memandang. Jangankan pasir yang hendak digenggam, kerikil untuk melempar buah pun tidak mudah di dapat.

Mungkin ini juga alasan para pemuda di kampungku melanglang buana, meninggalkan belantara. Menemukan pasirnya! Berjemur di sengatan matahari dalam buaian  lembut sang cinta. Aku juga bermimpi, suatu saat nanti, akan mengikuti jejak  mereka, para petualang itu.  

Tetapi aku juga akan belajar dari kesalahan mereka dengan genggaman bodohnya. Membiarkan pasir yang telah dengan sangat melelahkan mereka peroleh, berhamburan. 

Padahal genggaman mereka tidak terlalu erat. Mungkin saja, pasir dalam genggaman mereka itu terlalu  liar. Sehingga mudah berserakan , meski tidak digenggam.

Aku berjanji, jika kelak memang harus pergi dan jika Tuhan berkehendak menemukan pasir di sana, entah dimana itu. Pantai, gunung, sungai, atau bahkan di toko material sekalipun. Ia tidak akan pernah kugenggam. 

Sudah kupersiapkan rantang untuk membawanya pulang. Rantang emakku, tempat menaruh bekal makan siang bapakku. Kurasa itu jauh lebih baik ketimbang hanya mengandalkan telapak tangan untuk menggenggam.

Tanpa kupikirkan pun waktu terus berjalan. Mengalirkan alur kehidupanku. Kadang, waktu mengubah banyak hal, tetapi pernah juga membawaku menemukan catatan masa lalu.  

Aku jadi teringat pasir. Sesuatu yang pernah menginspirasiku untuk meninggalkan belantara. Menikmati pesonanya. Berbaring hangat dalam dekapannya. Kurasa pasir itu akan merubah kehidupanku. Pemuda hutan hujan tropis yang  bersahabatkan gambut dan rawa menemukan pasirnya. Dan aku belum lupa, membawa serta rantang emakku.

Kini aku telah menemukan pantai, tempat pasir berada. Keberadaannya ternyata bukan seperti yang kukira. Hanya ada beberapa menunggu untuk digenggam. Tetapi ini, hamparan.

Dengan berjuta pesonanya. Siapa pun tergoda untuk menghamburkannya. Tidak ingin menggenggamnya erat. Selalu saja ada pasir untuk digenggam, lagi, lagi dan lagi. Pada titik ini aku pun berhenti. Ini bukan cinta.

Kubiarkan rantang emakku kosong. Aku tidak berniat sama sekali mengisinya. Terlalu berharga rantang ini. Keberadaannya bukan untuk diisi oleh  pasir-pasir yang berserakan ini. Aku ingin menemukan pasirku. Pasir yang akan kuperjuangkan sepanjang hidupku, meski aku bukan orang yang mahir bercinta.

Buktinya berkali-kali aku ditertawakan oleh para pecinta. Mereka bilang aku lugu, terlalu mudah dibodohi. Aku diam saja. Mereka tidak tahu, jika sebenarnya aku masih mencari pasirku sendiri. Bukan seperti apa yang mereka mau. Mengambil segenggam, lantas menunjukkan pada lainnya. 

Setelah itu  melemparkannya tinggi, dan mengenai matanya sendiri. Setelah itu menangis tersedu, kadang juga meraung karena pasir telah membuat selaput matanya luka. Kalau sudah begitu, siapa yang lugu dan bodoh? Pasti bukan aku!

Aku tidak mencari pasir sempurna untuk mengisi rantang emakku. Bisa saja itu pasir bau, yang tidak seorang pun peduli. Tetapi, pasir itu menjadi topangan erat tanaman yang tumbuh liar, merdeka meranggas karena topangan nutrisi pasir tempatnya berpijak. 

Aku jadi tahu, cinta itu bukan sekedar menggenggam pasir. Tetapi pasir yang penuh nutrisi. Pasir yang tidak mudah berserakan, karena mengandung banyak nutrisi yang melekatkan satu dengan lainnya. 

Meski aku menggenggamnya erat, sang pasir tahu, itu kulakukan bukan karena kebencian dan kemarahan. Tetapi karena aku ingin sang pasir itu tetap menjadi bagian dari hidupku.

Kini aku dapat tersenyum lega. Meski pasir itu masih belum mengisi rantang emakku, tetapi aku tahu pasti kemana aku harus pergi untuk menemukannya. 

Petualangan jauhku ternyata bukan untuk menemukan pasir, namun menemukan pengertian pasir seperti apa yang mesti kugenggam. Oh, maksudku kumasukkan ke rantang emakku

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun