Metode Konstektual  Yesus Dalam Pembelajaran
"Siapa figur guru ideal menurutmu?" Pertanyaan ini pernah diajukan seorang kawan.
Pertanyaan sederhana, tapi tidak mudah menemukan jawabannya. Apalagi konteksnya demi kepentingan proses KBM ( Kegiatan Belajar Mengajar ).
Di kepala saya tersirat beberapa nama. Saya sangat terinspirasi dengan cara dan gayanya mengajar. Tetapi  belum merupakan gambaran ideal. Beda ceritanya jika pertanyaannya bukan siapa, tapi guru seperti apa. Lebih mudah untuk menjawabnya. Karena bisa saja itu hanya ada dalam konsep gagasan.
Satu kali, saya mendengarkan kotbah di gereja, bahan bacaan Alkitab bicara tentang bagaimana Yesus mengajar. Saya jadi ingat dengan pertanyaan lama kawan tersebut.
Selama ini saya kurang memahami dan mempelajari sosok Yesus sebagai guru, seperti layaknya guru-guru yang lain. Memahami bagaimana ia mengajar dan sejenak tidak membicarakan keilahiannya. Menjadikannya sosok manusia biasa, dan untuk sementara mengabaikan keistimewaan yang melekat padaNya.
Kesederhanaan saya memahami teks Alkitab setidaknya menemukan beberapa hal, terkait metode bagaimana Yesus mengajar.
Yesus Memahami Apa Yang Dipahami Muridnya
Yesus tahu benar siapa murid atau calon muridnya. Bagaimana mereka hidup, dan menurut saya ini yang penting, memahami apa yang di pahami dan di mengerti oleh murid-muridnya. Sehingga Yesus selalu mengajar menggunakan "bahasa" mereka.
Kepada nelayan, Yesus bicara tentang jala dan ikan. Kepada petani, ia bicara tentang tanah, tanaman dan air. Demikian juga bagi pegawai, atau bahkan pemuka agama. Yesus memakai istilah yang mereka pahami.
Tidak cukup dengan itu, Yesus selalu mengajarkan esensi ajarannya dengan perumpamaan-perumpamaan sederhana. Sesuatu yang tidak jauh dari hidup orang-orang yang mendengarkan pengajarannya.
Para murid dan yang mendengarkan, tidak merasa asing dengan apa yang mereka dengar. Meski Yesus sedang membicarakan surga.
Konteks Masa Kini ?
Kurikulum seringkali dirancang untuk melakukan penyeragaman. Kondisi geografis, sosial, ekonomi dan budaya, diabaikan dalam prosesnya.
Anak gunung, di ajak berpikir menggunakan perspektif yang sama dengan anak pantai. Orang kaya, mempelajari kajian yang sama dengan anak miskin. Belum lagi soal kearifan lokal yang tidak lagi dijadikan acuan dalam mengembangkan karakter.
Saat itu saya tinggal di kampung, lalu belajar menggunakan perspektif orang-orang kota. Membaca wacana, bagaimana orang kota pergi berlibur ke desa. Lantas apa yang kami peroleh? Sekedar lancar membaca. Anak petani bahkan kehilangan kebanggaan untuk menjadi petani.
Pendidikan, sukses mengasingkan peserta didiknya dari realitas. Bukan tidak ada keinginan untuk melakukan perbaikan, namun sepertinya, bongkar pasang kurikulum  masih dikelola dengan paradigma lama. Mungkin saja saya keliru, tetapi itu yang saya rasakan. Banyak pihak masih terjebak pada urusan legal formal dan prosedur. Ironisnya menomorduakan esensi.
Kelas, dindingnya semakin kokoh, membatasi peserta didik dengan dunia luarnya. Menjadi tempat mengkaji teori, tetapi gagap pada realitas. Keberadaannya seringkali hanya menjadi ruang yang menyederhanakan realitas.
Mencermati hal ini, saya mulai belajar memahami bagaimana Yesus melakukan proses pembelajaran. Â Bagi saya, Ia menggunakan metode konstektual. Menanamkan nilai-nilai kehidupan, dengan cara-cara yang mampu mereka para murid pahami. Menyadarkan menggunakan kesadaran mereka para murid sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H