Pada Praktiknya Pela gandong dilakukan oleh dua negeri yang berlainan Agama (Islam dan Kristen). Seperti halnya negeri Kailolo dan Tihulale. Konon ceritanya pada zaman pemerintahan kolonial Belanda sudah tercipta hubungan yang saling menguntungkan antara kedua negeri tersebut.
Pada tahun 1921 Â ketika ada lomba perahu belang yang diadakan oleh pemerintah Belanda di daerah Maluku Tengah, kedua negeri berada dalam satu tim. Kedua negeri berhasil memenangkan perlombaan, sehingga timbulah suatu hubungan antara kedua negeri itu dengan akrab. Â Keakraban berlanjut, Â pada saat negeri Kailolo melakukan pembangunan Mesjid Nan Datu, negeri Kailolo mengundang negeri Tihulale.
Negeri Tihulale membawa sejumlah kayu dan papan yang akan dipergunakan dalam pembangunan Mesjid. Sebaliknya beberapa tahun kemudian negeri Tihulale melakukan pembangunan Gereja Beth Eden, warga negeri Kailolo pun menyumbang banyak keramik. Kejadian barter ini terjadi pada sekitar tahun 1922 dan baru pada tahun 2009, 87 tahun kemudian, kedua negeri ini melakukan ikrar sebagai ikatan orang basudara.
Selain Maluku, Bantul juga memiliki Kenduri Lintas Iman, yang biasanya dilakukan di gereja Gereja Hati Kudus Tuhan Yesus (HKTY) Ganjuran. Kenduri lintas iman adalah tradisi yang dilaksanakan Gereja HKTY Ganjuran setiap tahun. Kenduri tersebut menjadi bukti keharmonisan warga sekitar gereja meski mereka berbeda agama.
Lombok mempunyai Perang Topat. Sebuah atraksi budaya yang menjadi symbol keharmonisan antara agama Islam dan Hindu. Tentunya masih banyak contoh-contoh lainnya yang memberi gambaran pada kita, bahwa di negeri ini, perbedaan dapat hidup berdampingan. Kearifan masyarakat selama berabad-abad mampu menjadi benteng persatuan. Modal sosial yang telah dimiliki oleh bangsa ini. Â
Belakangan, tali ikatan kita sebagai sebuah bangsa terancam. Masing-masing kelompok mulai ingin menunjukkan eksistensinya. Menilai kelompok lain menggunakan ukuran-ukuran kelompoknya. Menilai kebenaran lain, dengan kebenaran yang diyakininya. Sampai kapan pun ini tidak akan pernah menemukan titik temu.
Masyarakat masa lalu dengan segala kearifannya membuat simpul atas perbedaan. Kita hari ini, justru membentur-benturkan perbedaan. Bahkan mungkin ada yang mulai menganggap bahwa apa yang diyakini oleh masa lalu adalah sebuah kekeliruan yang harus diperbaiki.
Bagi saya, ini sama saja artinya dengan kita sedang beranjak dan sengaja meninggalkan sejarah. Sesuatu yang sudah terbukti membuat kita hingga hari ini bisa duduk bersama, minum kopi dan tanpa prasangka. Apakah ini semua layak untuk kita tinggalkan? Mari berpikir sebelum terlambat.
sumber
- Menggugat Tradisi, Pergulatan Pemikiran Anak Muda NU, Editor Zuhairi Misrawi, P3M dan Kompas.
- pelagandong.blogspot.com
- news.detik.com
- cnnindonesia.com
- Kompas.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H