Mohon tunggu...
Julius Deliawan
Julius Deliawan Mohon Tunggu... Guru - https://www.instagram.com/juliusdeliawan/

Guru yang belajar dan mengajar menulis. Email : juliusdeliawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menghargai Siswa adalah Jalan Menjaga Kehormatan Guru

15 November 2018   12:45 Diperbarui: 15 November 2018   13:05 543
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : pixabay.com

Saya tersenyum dengar candaan teman-teman. Kadang ikut nimbrung, satu dua kalimat dan tawa seisi ruangan menguat.

Pembicaraannya ringan, nggak ilmiah sama sekali. Tetapi mengena dihati, hiburan kala gundah gulana mikir nasib generasi bangsa. Maklum, kami guru, tidak pernah barang sebentar lepas dari pikiran-pikiran semacam itu.

Ada anak melanggar aturan, yang kami pikir langsung masa depannya, lantas menjalar ke masa depan bangsa. Apalagi, jika satu hari ada lebih dari lima yang melakukan pelanggaran. Mungkin benar 2030 kita akan bubar. Karena bisa jadi, ini hanya fenomena gunung es. Kecil dipermukaan, raksasa di dalam, terendam diperairan.

Tetapi pikiran-pikiran itu seringkali teranulir. Nasib orang sudah ada yang atur, tidak ada satupun dari kita yang tahu. Dan itu benar. Ungkapan valid, meski nggak tahu bagaimana memverifikasi validitasnya. Teman yang ngajar statistik juga bingung pakai rumus apa.  Sebab seringkali ada paradok, antara yang terjadi dengan logika yang semestinya terjadi.

Bantahan-bantahan asumsi itu terjadi biasanya saat ada alumni berkunjung ke sekolah. Baik yang baru mau jadi "orang", masih kuliah, ataupun sudah jadi "orang".  

Guru itu biasanya ingat wajah, sama kelakuan, tapi urusan nama belum tentu. Begitu wajahnya nongol, jadi ingat deh gimana kelakuannya dulu. Pertanyaan bakunya, "udah dimana sekarang?"  Takut salah kalau tanya macam-macam. Misal, "kerja dimana?" Eh ternyata yang datang masih kuliah, dan jawab, "saya kan baru tahun lalu lulusnya pak." Kan tengsin, jadi yang standar-standar saja nanyanya.

Biasanya  tidak ditanya macam-macam, alumni sudah cerita macam-macam. Apalagi jika ada temannya yang menurut mereka ganjil. "Bapak ingat nggak si A, sekarang jadi pilot loh." Wah, langsung deh, kita semua mikir. Nggak salah?

Sosok yang disebutkan itu kan dulu waktu SMA, nggak pernah ngerjain tugas. Buku pelanggaran isinya nama dia. Belum jika di kelas, guru baru mau ambil spidol, mulutnya udah menguap. Kita jadi bercanda, "nanti jika naik pesawat, nama dia disebut jadi pilotnya, kayaknya kita mesti turun." Dan kami semua tertawa renyah.

Bukan hanya si A yang jadi pilot, tapi juga si B yang jadi dokter. Atau si C yang IPK nya tertinggi di angkatannya, padahal universitasnya ternama, UI. Bila dicermati, ada banyak prilaku dan prestasi yang semasa SMA bisa di bilang, nggak banget. Tetapi sekali lagi, kita bukan penentu masa depan. Meski lembaga pendidikan sekalipun.

Cerita alumni mengingatkan, jadi guru itu jangan pernah menghakimi. Karena dunia pendidikan memang bukan lembaga peradilan. Tugasnya adalah mendampingi  siswanya menemukan potensi optimalnya. Intinya siswa berhasil menjadi dirinya sendiri dan menjadikan dirinya mampu membangun kehidupan bersama. Terserah dengan menjadi apa dirinya nanti.

Ini membuat saya mesti mengafirmasi kepala saya, para siswa itu berharga. Bisa saja hari ini mereka bukan siapa-siapa. Tetapi saya percaya, diantara mereka kelak, akan lahir orang-orang hebat. Bisa jadi, ada calon presiden, menteri, pengusaha, ayah yang inspiratif, mama luar biasa, dan masih banyak lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun