Secara sederhana saya memahami politik itu bicara tentang tiga hal ini, yaitu cara memperoleh kekuasaan, mendistribusikan kekuasaan dan mempertahankan kekuasaan. Proses didalamnya macam-macam.
Pemilu, itu bagian dari cara memperoleh kekuasaan. Rakyat, menjadi penentu siapa yang nantinya diberi hak untuk berkuasa. Tentu sesuai dengan ketentuan yang semestinya, perundang-undangan.
Pemilu itu hanya satu bagian dari banyak bagian bagaimana proses politik berjalan. Bahkan untuk cara memperoleh kekuasaan pun, pemilu bukanlah satu-satunya perangkat. Artinya pemilu bukanlah segala-galanya.
Saya sebutkan sebelumnya, Pemilu adalah proses rakyat  memberi hak berkuasa, memberi tanggungjawab, mandat, dan semuanya itu mesti dilakukan dengan hati.  Rakyat senang, ketika menentukan siapa yang akan mensupiri" negeri ini. Jadi tidak perlu ada teror, apapun bentuknya yang dapat mengganggu objektifitas proses tersebut.
Menentukan pilihan dalam pemilu, itu bicara soal keyakinan. "Kenyambungan" antara hatinya dengan hati yang dipilih. Jadi bukan karena saya pilih 1 lantas 2 busuk, atau sebaliknya. Sekali lagi ini soal kepercayaan.
Betul, kepercayaan itu tidak datang tiba-tiba. Kepercayaan itu didasari oleh banyak faktor. Ukurannya beragam. Tetapi, sebagian besar sepakat bahwa pernyataan dan tindakan menjadi indikator yang sangat penting.
Bagi saya, pemimpin optimis itu sangat penting. Karena orang yang optimislah yang selalu memenangi kompetisi. Selalu mampu melihat peluang. Menawarkan alternatif solusi, ketika yang lain terjebak pada kebuntuan.
Optimis, memberi ruang bagi saya untuk memiliki keberanian bermimpi. Mimpi memberi saya asupan gizi untuk bersemangat. Tentu pada gilirannya, saya akan dapat menghasilkan sebuah karya. Seandainya pun gagal, optimisme memberi saya pesan untuk tidak mudah patah arang. Masih ada harapan, masih ada peluang, selalu dan selalu ada yang dapat kita kerjakan. Setiap detik kehidupan kita bermakna.
Saya sering mengeluh, dan saya benci itu. Karena tidak satu hal pun dapat saya selesaikan dengan keluhan. Itu hanya akan menjebak saya lebih dalam pada kenyataan, tak ada yang bisa dikerjakan.
Ketika cabe mahal, saya dapat melihat peluang, bahwa dunia pertanian selalu memiliki harapan. Jika ada yang bilang, bukan ditingkat petani, tapi di soal transportasi. Saya mulai berpikir, mungkin infrastruktur bisa mengatasi. Dan digitalisasi adalah solusi. Karenanya, saya juga suka pemimpin yang hadir dengan memberikan solusi. Bukan hanya mengeluhkan keadaan tanpa alternatif solusi yang dihadirkan.
Lantas bagaimana tentang pencitraan? Â Apa salahnya pencitraan, jika hasilnya adalah perubahan. Depan rumah saya akhirnya di cor setelah sekian lama kami menunggu, itu karena jasa tetangga yang ingin dipilih lagi jadi wakil rakyat. Mau, dibilang pencitraan, terserah saja, selama hasilnya baik. Niat, hanya dia yang tahu. Tetapi saya tidak berkompromi jika dia melanggar hukum.
Ini baru sebagian, dari beberapa landasan saya nanti menentukan pilihan. Bisa saja kita berbeda, karena sekali lagi soal kepercayaan. Sifatnya personal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H