Jadi guru di tengah milenial, plus metropolitan, itu susah-susah gampang. Apalagi berbekal latar belakang kehidupan ndeso. Jaraknya kok semakin jauh, selain usia. Ada begitu banyak hal yang bikin nggak klop.
Jauh dari kata nyambung. Tetapi, ini justru tantangannya. Karena bagi saya, mengajar itu seni (disini penjelasannyanya ).  Jadi tidak ada salahnya menyanyikan lagu  the light is coming-nya Ariana Grande dengan gamelan komplit.
Di tulisan terdahalu, saya menulis, humor bisa menjadi penghubung. Antara dunia milenial (anak zaman now) dengan generasi lapuak (zaman old).  (bisa dibaca disini ). Meski humornya juga harus selektif. Ngikuti trend zaman.Â
Adakalanya humor yang nggak njamani malah jadi norak. Kata generasi sebelum ini, jayuz. Alias garing. Lucu sendiri bagi yang punya cerita, yang lain bingung cari-cari alasan; lucunya dimana?
Selain belajar materi yang kata Pak mentri mengikuti perkembangan zaman, pasti tidak semakin mudah. Untuk menyampaikan materi itu pun, guru mesti belajar. Kadang bagian yang ini jadi lebih berat.Â
Save saja masih sering lupa, ini program word buat tulis soal saja sudah berubah-ubah seenaknya. Apalagi model-model program buat presentasi. Mulai dari yang pakai gambar bisu sampai gampar ngomong juga sudah tersedia.Â
Baru mau sombong satu model mulai dikuasai, lah kok ada model terbaru lagi. Idenya bikin mudah, tapi malah bikin belajar nggak udah-udah. Mudah-mudahan tuh para programmer nggak pada kualat sama gurunya.
Ini baru soal alat bagaimana materi disampaikan. Belum bagaimana kedalaman materinya dikaji, sekaligus dievaluasi. Nyampek nggak itu materi. Secanggih apapun alat, kalau hasil evaluasi tidak menunjukkan siswa ngerti. Hari-hari berlalu di depan kelas rasanya jadi sia-sia.
Faktornya banyak. Paling gampang sih nuduh, anaknya malas belajar. Tetapi itu tidak akan pernah menyelesaikan persoalan. Padahal materi sudah disampaikan menggunakan alat alat peraga dan media yang mengikuti perkembangan zaman.Â
Tetapi itu tetap tidak dapat memberi jaminan kepastian. Anak pasti mengerti apa yang diajarkan oleh guru. Tidak juga mesti membangun ekspektasi, semua anak ngerti. Ada aturan main dan prosentasenya.
Di era milenial, ada begitu banyak hal yang merebut perhatian siswa. Tidak peduli sewaktu berada di kelas ataupun di luar kelas. Internet benar-benar merevolusi peradaban.Â
Menurut saya, membuat siswa fokus dan konsentrasi belakangan ini agak sulit. Selain ada begitu banyak hal lain jika saya menggunakan ukuran-ukuran yang biasa digunakan. Tetapi suka atau tidak, inilah yang mesti diselesaikan guru era milenial. Ada atau tidak ilmunya sewaktu kuliah dulu.
Sewaktu membimbing calon guru, saya bilang; ibu perlu menambahkan efek" wow" pada saat mengajar. Kata ini pernah saya denger dari Agnez Mo saat menjuri di kontes menyanyi di salah satu stasiun TV. Dia bilang, suaranya ok, pilihan lagunya bagus, musiknya keren, tapi masih ada yang kurang, yaitu efek  "wow". Sulit memberi penjelasan gamblang yang mendefinisi kata ini. Tapi sangat bisa dirasakan.
Mengajar saya rasa kok juga perlu hal-hal seperti itu. Tidak perlu mencari hal-hal spektakuler, tetapi hal-hal sederhana unik yang melingkupi materi. Ini menjadi menarik dan memancing perhatian, karena siswa belum pernah dengar sebelumnya. Tidak banyak juga disajikan di internet. Tetapi bukan berarti tidak ada.
Saya senang ketika calon guru tersebut berhasil menanggapi tantangan saya. Pada saat membahas materi perihal proklamasi, beliau membahas bagaimana proklamasi itu disebarluaskan. Dan penggunaan istilah "boeng ajo boeng" yang digunakan Chairil Anwar untuk gambar posternya Affandi yang mengobarkan semangat perjuangan.
Sederhana, tetapi menarik. Bukan esensi, hanya pernik. Namun membuat esensi semakin mudah dipahami. Semoga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H