Mohon tunggu...
Julius Deliawan
Julius Deliawan Mohon Tunggu... Guru - https://www.instagram.com/juliusdeliawan/

Guru yang belajar dan mengajar menulis. Email : juliusdeliawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Perjalanan Melengkapi Hidup dengan Cinta

23 Juni 2018   08:00 Diperbarui: 23 Juni 2018   08:39 706
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dari deretan lokomotif yang dipajang, juga papan informasi yang tersedia di sisi jalan masuk ketika menyusuri museum, kami tahu bagaimana perkembangan perkerataapian di Indonesia. Ternyata, transportasi di zaman colonial tidak kalah dengan apa yang terjadi di Eropa.

 Di museum ini juga tersedia perpustakaan kereta. Sayang, tidak buka. Karena kunjungan kami bukan pekan, sehingga tidak banyak layanan museum yang dibuka. Kami juga tidak dapat mencicipi jalan naik kereta diesel ke stasiun Tuntang. Sementara untuk kereta uap, anggaran kami tidak cukup untuk menyewanya.

Meski terbatas, kunjungan ini tetap menyenangkan. Kami bisa  membangun memori pada apa yang terjadi di negeri ini puluhan bahkan ratusan tahun silam. Museum menghadirkan pembelajaran penting masa lalu bagi masa kini. Sayangnya banyak yang memanfaatkan masa lalu untuk membungkam masa depan dan bersembunyi dari kebenaran. Padahal semestinya kita berani jujur termasuk pada masa lalu. Karena dengan begitulah kearifan dan kemajuan peradaban dapat terjadi.

Setelah puas mengeksplorasi isi museum, dan tentunya mengambil banyak memori melalui foto, kami dengan riang meninggalkan museum. Menuju tempat utama kami, Live In di dusun Ngaduman.

Dusun Ngaduman

suasana makan bersama dengan warga Ngaduman (dokumen pribadi)
suasana makan bersama dengan warga Ngaduman (dokumen pribadi)
Terletak di punggung gunung Merbabu. Ngaduman boleh di bilang, dusun tertinggi di Kawasan tersebut. Pesonanya luar biasa. Untuk ini, saya sudah mengkisahkannya di ; Pesona dusun di punggung Merbabu. Masyarakatnya terbuka. Inilah satu dari sekian banyak alasan mengapa Ngaduman kembali jadi pilihan saya untuk melakukan program Live In.

Tanggapan  masyarakatnya hangat, tidak sedingin hawanya. Ada begitu banyak pelajaran yang dapat dipelajari di dusun ini. Mulai dari hal yang remeh temeh hingga ke persoalan yang bernuansa filosofis. Saya masih ingat ungkapan tetua dusun yang menggoda saya karena "takut" mandi karena hawa dinginnya yang menurut saya keterlaluan. Beliau bilang begini ; "kalau bapak bilang dingin, ya pasti akan kedinginan." Ungkapan ini sederhana, tetapi setelah saya pikir, benar-benar sarat makna. 

Beraktivitas bersama warga Ngaduman (dokumen pribadi)
Beraktivitas bersama warga Ngaduman (dokumen pribadi)
Di tempat ini, anak-anak menemukan artinya kerja keras. Lantas bersyukur atas keberuntungan yang melingkupi hidup mereka. Generasi milenial ini juga banyak yang belajar artinya menghormati sesama. Meski di garis silsilah mereka bukan siapa-siapa,  bagi masyarakat Ngaduman, mereka adalah keluarga. Inilah ketulusan dari masyarakat punggung Merbabu.

Masih ada banyak cinta di tempat ini, yang tidak tergerus oleh hingar bingarnya komersialisasi. Semoga sekembalinya dari tempat ini, para peserta Live In SMAK 3 Penabur Jakarta ini masih membawa cinta itu di dalam hatinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun