Mohon tunggu...
Julius Deliawan
Julius Deliawan Mohon Tunggu... Guru - https://www.instagram.com/juliusdeliawan/

Guru yang belajar dan mengajar menulis. Email : juliusdeliawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Belajar Sejarah Itu Asyik dan Bisa Bikin Kreatif

18 Juni 2018   08:00 Diperbarui: 18 Juni 2018   10:26 1993
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika saya bertanya, apa yang terbersit dalam pikiranmu ketika mendengar kata sejarah? Seisi kelas nyaris kompak menyebutkan tiga hal; angka tahun, nama tokoh dan nama tempat. 

Pertanyaan saya lanjutkan, senang tidak belajar sejarah. Kelas sepi. Yang terlihat hanya senyuman menyembul diantara para penghuni kelas  itu. Belum ada jawaban, pertanyaan kembali saya lanjutkan. Penting nggak sih belajar sejarah. Mulai ada yang jawab, penting sih, tapi..., sambil garuk kepala lantas dia juga tidak melanjutkan. Melihat reaksi mereka, saya hanya tersenyum.

Penting, namun mengapa pakai kata tapi? Ini menggelitik pikiran. Meski kata itu sering saya dengar, terutama dari mereka yang baru pertama kali mengikuti pelajaran bersama saya. Untuk menuntaskan penasaran pada apa yang mereka pikirkan, kembali saya bongkar pengetahuan mereka tentang pelajaran yang saya ampu ini.

Abaikan dulu kata tapi, apa yang membuat kamu bisa bilang jika sejarah itu penting? Untuk apa? Begitulah kemudian saya bertanya. Untuk bisa mengetahui apa yang pernah terjadi di masa lampau. Kita bisa tahu perjuangan para pahlawan. Begitulah jika saya simpulkan dari beberapa jawaban para penghuni kelas itu. Tidak keliru, namun masih perlu dilengkapi.

Membaca judul di atas, barangkali ada yang ganjil terbersit dalam pikiran. Bukankah selama ini saat belajar sejarah di sekolah, kita sering berkutat dengan sesuatu yang monoton. Cenderung membosankan. 

Hafalin nama tokoh, nama tempat dan yang paling menyedihkan harus mengingat angka-angka. Tanggal yang tak ada rumus pembagi atau pengurangnya, pokoknya hafal mati, titik! Jauh dari kata kreatif yang tertera di judul. Jawaban para siswa di kelas semakin menegaskan pendapat saya itu.

Pada tulisan ini, saya mengajak pembaca berpikir berbeda dari apa yang selama ini dimengerti tentang pelajaran sejarah. Memang tidak mudah, namun tidak ada salahnya. Perlahan mencoba menelusuri, mencari tahu tentang apa dan bagaimana sebenarnya sejarah atau pelajaran sejarah itu semestinya dipelajari.

Sejarah Itu Hasil Rekonstruksi Masa Lalu

Objek kajian sejarah adalah masa lalu, utamanya berkenaan dengan apa yang dilakukan, dipikirkan dan dihasilkan oleh manusia. Mengapa harus dipelajari? 

Ini berkaitan dengan kepentingan masa kini, setidaknya agar manusia mengerti dan memahami keberadaan dirinya. Karena apa yang terjadi di masa kini sangat berkaitan dengan apa yang telah dilakukan oleh manusia di masa lalunya. Bagi masa depan setidaknya hal tersebut dapat dijadikan acuan atau pembelajaran. Sehingga kualitas hidup manusia dari waktu ke waktu menjadi lebih baik.

Berdasarkan hal tersebut maka poin utama dalam mempelajari sejarah adalah belajar tentang nilai-nilai kehidupan. Kehidupan manusia di masa lalu sebagai sumber belajarnya. Seperti pepatah bilang "pengalaman adalah guru terbaik."

Rentang waktu masa lalu sebagai objek kajian sejarah tidak terbatas. Sejam, sehari, seminggu, sebulan, setahun, seabad, seribu atau bahkan sejuta tahun yang lalu, semuanya adalah masa lalu. Sementara kita, sebagai orang yang mempelajari peristiwa di masa lalu tersebut hidup di masa sekarang. 

Jika masa lalu yang akan dipelajari itu belum lama, maka sumber yang dapat dipakai tentunya masih banyak. Namun jika yang dikaji ribuan tahun yang lalu, tentu sumbernya sangat terbatas.

Tidak ada yang bisa menceritakan apa yang telah terjadi. Kalaupun ada, biasanya berupa tradisi lisan, siapa yang dapat memverifikasi kebenarannya? Bahkan seringkali hanya berupa benda, atau bekas-bekas aktivitas manusia yang berserakan. Tak ada cerita apapun yang tersampaikan dari sisa-sisa tersebut.

Para sejarawanlah yang  melakukan rekonstruksinya untuk kita. Menggunakan berbagai pendekatan, untuk menemukan sebuah kesimpulan. Proses akademik yang menjunjung tinggi kajian ilmiah dan objektivitas menguji kesimpulan. Hasilnya menjadi kebenaran yang kemudian kita yakini, itulah yang pernah terjadi di masa lampau.  Itulah sejarah.

Sebagai hasil dari kajian ilmiah, sejarah tentu selalu memiliki ruang untuk diuji kebenarannya. Selalu terbuka bagi Analisa dan kajian-kajian baru. Karena begitulah ilmu pengetahuan. Tidak mentabukan pada satu tafsir kebenaran. 

Disinilah, sejarah selalu menarik bagi saya. Karena itu  berarti siapapun  memiliki kebebasan untuk ikut terlibat  menganalisis apa yang telah terjadi dari sudut pandang yang dapat kita pahami.

Rekonstruksi Melahirkan Pikiran Kreatif

Seperti apapun sisa yang didapat dari kehidupan masa lalu manusia itu, sejarawan dituntut dapat mengungkapkan apa yang terjadi. Mulai dari peristiwa, pelaku, motif, cara hidup atau apa saja dibalik sisa-sisa yang tertinggal tersebut.

Berperan seperti detektif, sejarawan melakukan rekonstruksi, yaitu membangun kembali suasana kehidupan masa lalu dengan berdasarkan sumber yang tersedia. Mereka mencoba menginterpretasi setiap sumber yang ada.

Secara ilmiah, terdapat beberapa tahap guna mendapatkan kesimpulan objektif. Pertama adalah tahap heuristic. Pada tahap ini, sejarawan mengumpulkan sebanyak mungkin data, peninggalan, sumber yang akan diteliti. Setelah sumber diperoleh, langkah berikutnya dimulai. 

Sumber dipilah-pilah. Diurutkan menggunakan tingkat kegunaannya. Sumber-sumber yang sangat penting, sangat menunjang bagi penelitian, dimasukkan sebagai sumber primer. Selebihnya dapat dimasukkan sebagai sumber sekunder dan seterusnya.

Untuk menjadikan proses kedua ini dapat dengan mudah dilakukan. Sejarawan dapat menggunakan kritik internal dan kritik eksternal untuk sumber-sumber yang didapat. 

Prosesnya sederhana, jika sumbernya berupa buku, lihat pengarangnya, penerbitnya, memiliki track record kapsitas apa tidak. Itu yang disebut kritik eksternal. Belum cukup, baca isinya, pahami maksudnya. Saling bertentangan tidak kajiannya. Isinya sesuai tidak dengan logika-logika yang selama ini hidup dan berkembang di masyarakat. Jika ada pertentangan, cari pembanding yang relevan. Inilah kritik internal.

Tahap ketiga, adalah tahap sejarawan menafsirkan apa yang sebenarnya terjadi. Pada konteks inilah imajinasi diperlukan. Imajinasi sejarawan yang didasarkan data dan tentu saja dukungan ilmu-ilmu yang lain digunakan untuk menghadirkan masa lalu yang kemudian dibuatkan deskripsinya, dan pada akhirnya pembaca atau manusia masa kini dapat mengerti seperti apa masa lalu di balik sisa-sisa peninggalan tersebut.

Realitas demikian tentu membutuhkan kreativitas dalam berpikir, dan kreativitas seperti itu bukan merupakan monopoli sejarawan saja, melainkan bagi kita yang mempelajari sejarah. 

Memadukan antara penggalan fakta yang satu dengan fakta lainnya membutuhkan daya analisis yang membuat kita dicerdaskan. Belum lagi jika kita juga turut mencoba mencari kemungkinan-kemungkinan yang bisa saja terjadi namun belum diungkap oleh sejarawan penulisnya, pasti lebih mengasyikkan dan hal seperti ini sangat dianjurkan dalam mempelajari sejarah. Sebab kebenaran sejarah itu tidak tunggal.

Misalnya saja saat mempelajari peninggalan kerajaan Mataram Kuno. Sumber pembahasan adalah Candi Prambanan atau Borobudur. Dengan menggunakan imajinasi kita bisa melakukan eksplorasi lebih lanjut, tidak sekedar mengetahui bahwa kedua candi tersebut merupakan peninggalan kerajaan Mataram.

Melalui pertanyaan-pertanyaan kritis, kita bisa mengetahui bagaimana kehidupan masyarakat pada saat tersebut. Seperti, bagaimana candi itu di bangun, ukuran seperti apa yang di gunakan, siapa yang merancang, siapa yang jadi pekerja, bagaimana suplai logistik bagi para pekerjanya, dimana mereka tinggal, bagaimana manajemen operasionalnya, dan masih banyak lagi pertanyaan yang bisa di ajukan.

Dengan imajinasi dan data yang tersedia kita dapat menjawab berbagai hal dari pertanyaan-pertanyaan tersebut. Tentu jawaban-jawaban yang ada adalah jawaban spekulatif, dan perlu pembuktian melalui berbagai argument pembanding, dan tidak kalah pentingnya adalah hal-hal yang bersifat akademis. 

Salah atau benar jawaban yang bisa dimunculkan bukanlah hal terpenting, bagi kita yang belajar sejarah, namun kemampuan membingkai serpihan menjadi sebuah deskripsi yang bermakna menjadi lebih penting. Karena, bukan sejarawan. Dengan hal-hal semacam ini,  tentunya kreativitas berpikir menjadi terasah.

Berdasarkan hal tersebut banyak ilmuwan kemudian sepakat, bahwa selain sains, sejarah juga adalah seni. Sebab tidak sekedar pemaparan data atau fakta, namun dalam mendeskripsikan hasil rekonstruksi perlu di dukung imajinasi.  

Intuisi dan juga Bahasa, agar hasil rekonstruksi tidak kering. Namun dapat menghadirkan masa lalu menggunakan deskrispsi yang dihidupi para pembacanya di masa kini. 

Jika demikian tentu sejarah tak ubahnya seperti seni-seni yang lain. Tahap inilah yang dalam kajian ilmiah disebut sebagai historiografi. Mau mencoba?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun