Drrrt ! Hp kembali memberi tanda. Benar saja, ada WA masuk. Dari notifikasi, saya tahu, dari seorang siswa yang beberapa hari lalu meminta dibimbing menulis esai. Berkat Kompasiana, beberapa teman dan  siswa di sekolah tempat saya mengajar, mengkategorikan saya sebagai penulis. Sehingga, untuk urusan tulis menulis, banyak yang menghubungi saya. Ada yang minta diajari, ada juga yang meminta saya mengoreksi tulisannya.
Padahal, jika mengacu pada data statistik Kompasiana. Centang saya itu masih hijau. Pemula, itu pun pakai banget. Dari sekian banyak tulisan, tidak ada separuhnya yang jadi pilihan. Dari yang jadi pilihan, lebih sedikit lagi yang jadi Headline. Â
Jadi sebenarnya malu juga menyandang predikat penulis. Tetapi jika akhirnya saya PeDe menyematkan itu di data profil, anggap saja itu bagian dari afirmasi. Doa dan semoga pembaca juga turut mendoakan saya.
Belajar bagaimana menulis, otodidak. Terprovokasi  sama bukunya mas Arswendo Atmowiloto; menulis itu gampang. Terus karena waktu itu nama saya terpampang sebagai penanggung jawab di koran kampus Scientiarum, terpaksa banyak nanya sama tim redaksinya.Â
Sekali waktu juga ikut menyumbangkan artikel. Tetapi ternyata, mas Arswendo itu memang jago memprovokasi, kenyataannya, menulis itu tidak gampang. Membahasakan Bahasa verbal ke dalam Bahasa tulisan, itu tidak mudah. Jauh lebih mudah berkata-kata, apalagi bagi demonstran seperti saya. Kendala utamanya, saya ragu dengan tata bahasanya. Belum lagi soal letak titik komanya.
Mikir tata Bahasa, kadang,  itu membuat ide yang sudah mengawang, menghilang. Padahal belum sempat di save dalam format word. Belum lagi aturan-aturan standar, jika nulis harus begini dan begitu. Pakai data ini dan data itu. Jiah, bubar sebelum mulai tuh gagasan.
Tanpa mengurangi rasa hormat saya pada pakar ketatabahasaan, akhirnya saya mengimani satu pakem, yang menurut saya benar. Pakai pendekatan, gobloklogi. Lagi-lagi, saya temukan dilembaran bukunya mas Arswendo, jika mau belajar nulis itu ya harus menulis. Tidak ada cara lain. Jangan kebanyakan teori, pokoknya ya tulis saja. Titik!
Kembali ke soal siswa yang menghubungi saya tadi, ternyata dia mengalami seperti yang saya alami dulu. Ragu pada tulisan dan gagasan yang ada dalam tulisannya. Saya dapat memaklumi, karena saya yakin, dia tidak sendirian.Â
Sampai hari ini pun, saya masih sering ragu dengan apa yang saya tulis. Sebagai gurunya, tentu saya punya tanggungjawab untuk meyakinkan kemampuannya menulis. Menggunakan keterbatasan yang saya miliki.
Saya tidak menggunakan tatabahasa sebagai ukuran dalam mengkaji tulisan yang dia buat. Karena ilmu saya sangat terbatas. Tetapi menggunakan rasa, apakah tulisannya berasa mak Nyess, atau sebaliknya. Ukurannya memang subjektif.Â
Tetapi pendekatan itu yang saya bisa. Seperti orang bikin masakan, kasih garam itu bukan hanya sekedar timbangannya yang pas. Tetapi juga dicicip. Bisa saja pada resep yang tercetak, garamnya sudah sesuai ukuran, tetapi  setelah dirasa, bisa saja masih perlu ada penambahan. Lagi-lagi, itu juga subjektif.