Mohon tunggu...
Julius Deliawan
Julius Deliawan Mohon Tunggu... Guru - https://www.instagram.com/juliusdeliawan/

Guru yang belajar dan mengajar menulis. Email : juliusdeliawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Lebaran dalam Ingatan Seorang Non Muslim

10 Juni 2018   08:00 Diperbarui: 11 Juni 2018   10:11 875
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hiruk pikuk mudik, sudah mulai terasa. Artinya, lebaran mulai dihitung mundur menggunakan H min 7, H min 6 dan seterusnya. Seperti saat-saat menantikan letupan kembang api di acara malam tahun baru.

Barangkali mudik tahun ini akan lebih berasa, karena berbarengan dengan libur Panjang sekolah. Antrian mengular, dipintu-pintu tol dan pintu masuk kapal penyeberangan. Riuh rendah penumpang di bandara, terminal, stasiun dan pelabuhan. Gawe besar, banyak pemangku kepentingan.

Saya tidak merayakan Idul Fitri, namun bukan berarti tidak merasakan detaknya. Bukan karena mall menyediakan diskon, melihat jutaan orang berbondong mudik atau karena harga-harga melambung. Tetapi oleh ingatan-ingatan semasa saya kecil, di sebuah kampung pedalaman Sumatera Utara, bernama Sonomartani, yang sampai hari ini masih tidak saya temukan di google map.

Sebagai orang Kristen, di kampung tersebut, keluarga kami itu minoritas. Dari ratusan KK, awalnya hanya 7 KK. Seiring kedatangan orang-orang dari luar kampung, seingat saya hingga meninggalkan kampung tersebut, jumlah orang Kristen hanya dikisaran 12 KK. Tetapi, tidak ada halangan berarti bagi saya dan keluarga untuk menunaikan ibadah. Terlebih dalam urusan kehidupan bertetangga. Nilai-nilai kehidupan sosial dijunjung tinggi oleh sebagian besar warga masyarakatnya.

Di tempat itu, saya memiliki kakek dan nenek, pakde dan bude, om dan tante, yang belakangan saya baru tahu, tidak ada hubungan darah sama sekali dengan orang tua saya. Karena kedua orang tua saya, ke Sumatera hanya berdua. Tetapi, di Sumatera orang tua saya menemukan keluarga. Di keluarga besar kampung itulah saya menikmati banyak momen lebaran. Dari ketika saya masih kecil, hingga menginjak usia remaja.

Sebagai orang Kristen, saya lebih mengakrabi lebaran ketimbang hari natal. Sama seperti teman yang lain, baju baru pun dibelikan pada saat lebaran.

Rumah juga dipenuhi tamu, mereka bersilaturahmi. Karena, ini adalah hari baik, momentum untuk saling memaafkan. Tidak terkecuali, di rumah orang tua saya. Karena bagi mereka orang tua saya bukan orang lain. Meski berbeda dalam iman. Sementara, saya pun selalu berkeliling kampung. Mengetuk pintu, dari yang terdekat hingga yang terjauh. Untuk mengucapkan selamat dan memohon maaf bersama dengan teman-teman seusia. Kami semua bahagia di hari lebaran.

sumber : vik.kompas.com
sumber : vik.kompas.com
Saya tidak pernah mendengar atau disebut kafir. Memang satu dua ada saja yang menilai kami beda, tetapi sebagian besar tidak demikian. Sehingga tanpa ragu sedikit pun bagi saya untuk ikut serta merayakan lebaran.

Sungkem saya diterima. Kakek nenek, pakde-bude, om dan tante saya, memeluk saya sama seperti cucu dan keponakan kandungnya.  Saya dapat menikmati dan larut dalam tangis haru dan tawa bahagia mereka di setiap kali merayakan lebaran.

Malam sebelumnya, saya juga selalu menikmati keliling kampung membawa obor, menemani teman-teman mengumandangkan takbir. Menunggu mereka di sudut masjid hingga menyelesaikan tarawihnya, juga hal biasa bagi saya. Sebelum akhirnya kami menuntaskan malam di bulan Ramadhan. Sesekali, jika terbangun, juga ikut membangunkan sahur.

Bagi saya, itu semua adalah perjalanan iman. Saya sangat bahagia, pernah diantara mereka, orang-orang yang menunjukkan bagaimana ke-Agungan Tuhan dengan mencintai saya dan keluarga apa adanya. Sama seperti yang saya Imani ;

"
"Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi."

"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun