Mohon tunggu...
Julius Deliawan
Julius Deliawan Mohon Tunggu... Guru - https://www.instagram.com/juliusdeliawan/

Guru yang belajar dan mengajar menulis. Email : juliusdeliawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Palungan dalam Perayaan Natal yang Terenggut

26 Desember 2017   15:35 Diperbarui: 26 Desember 2017   15:38 944
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber : https://pixabay.com/en/nativity-manger-christmas-jesus-596934/

Bertahun silam, saya pernah terlibat dalam sebuah pementasan Natal di JCC. Saya tidak tahu persis, apa nama pagelaran yang kami pentaskan, drama musikal, opera atau drama gado-gado.  Pada saat itu, saya tergabung dalam paduan suara Kharismata yang berkolaborasi dengan para pemain teater dari IKJ.

Judul pementasannya ; Palungan yang Hilang. Palungan, tempat makanan ternak adalah property penting dalam setiap perayaan Natal. Karena di tempat itulah, bayi Yesus dibaringkan pasca persalinan. Bagi kekristenan, palungan menyimbolkan kesederhanaan. Simbol bagaimana Allah menghadirkan diriNya dalam wujud manusia. Menyapa umat yang diabaikan oleh peradaban, yang menempatkan fokusnya pada lingkaran kekuasaan.

Palungan, mengabaikan kebiasaan yang dihidupi oleh sejarah. Bagaimana pemimpin besar biasanya memulai hari terpentingnya. Karena, disaat kelahiran Yesus, Sang Mesias yang diimani oleh orang Kristen sebagai Tuhan, justru memulai kehidupanNya di tempat yang sangat rendah ; Palungan.

Palungan adalah wujud belarasa Allah. Memberi ruang bagi mereka yang dipinggirkan oleh sejarah menemukan kembali eksistensinya sebagai manusia. Para penggembala, yang barangkali tidak dicatat oleh sejarah manapun sebagai pembuat sejarah. Namun disaat kelahiran Yesus, adalah kelompok penting, yang diberi privilege  berjumpa dengan  bayi Yesus. Posisi mereka tertera istimewa dalam sejarah kekristenan.

Menjangkau yang tidak pernah dijangkau, begitulah makna kehadiran Palungan. Kami para pelakon pada saat Natal di JCC itu, sebenarnya tidak terlalu memahami konteks palungan yang sedang dilakonkan. Sang sutradara dan penulis skenario tidak memberi pemahaman detil apa yang sedang ia gelisahkan. Sehingga perlu membuat lakon dengan judul 'palungan yang hilang' seperti itu.

Namun, setelah beberapa tahun berlalu. Saya mulai mengerti apa yang kami pernah pentaskan bertahun-tahun silam itu. Palungan yang menjadi property penting pada setiap perayaan natal, karena menyimbolkan kesederhanaan, kepedulian dan kemurahan dalam beberapa kasus perannya telah tergantikan.

Bayi Yesus, kini tidak lagi diletakkan dalam palungan, tetapi kereta bayi indah yang dipenuhi dengan hiasan. Terpampang manis, dietalase-etalase pertokoan. Tentu saja diwilayah yang steril dari para pelaku Razia musiman. Bayi Yesus menjadi lebih manusiawi, karena begitulah seorang bayi calon pemimpin besar semestinya diperlakukan.

Saya, yang mungkin tidak terlalu familiar dengan perubahan begitu, kok sepertinya masih suka dengan bayi Yesus yang ada di palungan. Bayi Yesus yang belum terenggut oleh kapitalisme. Mungkin saya saja yang salah menilai jaman. Entahlah ! Apapun itu, kuucapkan "Selamat Natal Untuk Saudara-Saudaraku Umat Kristen".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun