Di banyak kesempatan, saya selalu bilang ke teman-teman ; saya ini bukan orang desa atau kampung, tetapi orang hutan. Mereka tertawa, karena lantas mengidentikkan saya dengan satwa langka yang berada di bawah perlindungan pemerintah itu. Sebenarnya ini adalah fakta, melihat dimana saya tinggal pada masa kanak-kanak. Jadi bukan sedang meledek diri sendiri, tetapi berdasar kondisi geografis dimana saya tinggal.
Orang tua saya transmigran, saya lahir, hanya berselang kurang dari satu tahun dari saat mereka tiba di daerah tersebut. Sehingga, masih bisa melihat, bagaimana hutan perawan mengitari kampung halaman saya itu. Akses keluar daerah, ada, tetapi memiliki banyak keterbatasan. Jalanan berupa tanah gambut tidak beraspal, jika hujan turun, berubah menjadi kubangan. Memaksakan diri mengendarai motor atau sepeda, akan jadi lebih sering mendorongnya ketimbang ada di atas kendaraan tersebut. Mobil, jangan coba-coba melintas saat musim hujan. Bisa berhari-hari jadi onggokan, karena rodanya nggan diajak beranjak.
Pada realitas seperti itu, kami masih dapat mengenal sebuah bank, yaitu  BRI. Meski secara geografis, daerah saya itu pedalaman. Memang tidak dapat sepenuhnya dikatakan terisolir. Listrik, ada, beroperasi dari jam tujuh petang hingga jam duabelas malam. Hasil dari swadaya masyarakat yang membentuk koperasi dengan membeli genset berkapasitas sedang. Daya jangkaunya sangat terbatas, hanya pada mereka yang ada di sekitaran jalan utama. Sehingga sebagian besar masyarakat bergantung pada lampu minyak.
 Meski pedalaman, geliat ekonomi tetap menggairahkan. Tiap menjelang malam hari, pajak sebutan untuk pasar di daerah saya, mulai ramai membuka dagangannya. Pedagangnya sebagian besar adalah masyarakat luar daerah yang mencari peruntungan. Suasana tengah hutan itu semakin meriah pada saat musim panen. Pedagang dari kota bahkan rela tinggal berbulan-bulan, untuk mengisi los-los pajak yang disewakan.
Orang tua saya tidak ingin hanya menjadi penonton, ia ingin menjadi bagian yang mencicipi kue ekonomi itu. Tekadnya ketika menjadi transmigran saat itu tidak lain juga adalah mengubah keadaan. Meski awalnya, bapak adalah pegawai kontrak di departemen transmigrasi. Namun realitasnya, ia adalah bagian tidak terpisahkan dari para transmigran.
Berkali-kali seingat saya bapak berdiskusi dengan ibu tentang upaya mencari modal usaha. Setiap mendiskusikan rencana usaha, nama BRI berulangkali disebut. Tidak ada bank lain yang menjangkau kami saat itu, kecuali bank pemerintah yang satu ini. Meski tidak ada kantornya di tempat kami. Kantor cabang terdekat ada di kota kecamatan. Butuh berjam-jam perjalanan, dengan medan berat untuk menjangkaunya. Namun petugas bank ada yang berkeliling menyambangi daerah kami. Pengalaman kemudahan memperoleh pinjaman modal dari BRI juga di peroleh dari beberapa teman bapak yang telah lebih dulu membuka kedai kelontong. Petugas bank yang kebetulan menyambangi juga sempat bertemu dan memberi penjelasan pada bapak.
Saat itu bapak mengutarakan keinginannya untuk mendapatkan modal usaha. Saya tidak terlalu ingat, pinjaman modal model apa yang ditawarkan pada bapak oleh petugas bank BRI itu. Tetapi satu yang saya ingat, bapak menjadi sangat bersemangat. Ia menceritakan pada kami apa mimpinya dengan pinjaman yang akan diperolehnya itu nanti.
Selama ini, bapak juga terlibat pada sebuah Lembaga sosial, menjadi volunteer, ia sering bepergian. Adakalanya harus membiayai kegiatannya itu dari kocek pribadinya. Ia ingin, kami memiliki usaha yang dapat menjadi pemasok dana tambahan. Ia ingin membuka warung, dan beternak ayam. Potensinya besar untuk dua model usaha itu, begitu penjelasan yang bapak terima dari petugas yang tidak hanya memberi pinjaman, tetapi juga memberi gambaran peluang yang dapat kami pilih.
Di sekitar tempat kami memang terdapat beberapa warung makan, terutama di daerah tangkahan. Sebutan untuk pelabuhan sungai perahu penumpang. Karena kondisi jalan yang memprihatinkan, transportasi sungai menjadi andalan di daerah kami. Daerah tangkahan tumbuh menjadi kawasan ekonomi. Tiap hari ada puluhan, bahkan pada hari-hari tertentu bisa menjadi ratusan penumpang, dari dan ke tempat kami atau sekedar transit untuk menuju ke daerah lain.Â
Menurut survey sederhana bapak, pasokan daging ayam mereka tidak stabil. Mengandalkan ayam kampung peliharaan warga, kualitas dagingnya beragam. Karena kadang ayam tua yang mereka jual. Realitas itu membuat orang tuaku yakin. Apalagi pihak bank BRI juga memberi informasi terkait pengadaan bibit dan tempat-tempat penampungan seandainya ayam piliharaan kami tidak terserap pasar lokal. Karena yang mereka rekomendasikan itu juga adalah nasabah BRI. Sehingga dengan mendapatkan permodalan BRI sebenarnya kami sudah mendapatkan paket komplit. Â Bahkan petugas Bank BRI juga membantu bapak membuat analisa usaha sederhana.
Sertifikat tanah menjadi agunan. Setelah dihitung, jumlahnya menurut bapak cukup untuk memulai sebuah usaha sederhana. Cicilannya realistis. Tidak akan terlalu membebani usaha yang sedang  berjalan, mengingat kami memulai usaha ini dari nol.
Tidak terlalu lama, bapak mendapat kabar pengajuan kredit usahanya disetujui. Pada saat menunggu sebelumnya kami juga telah mempersiapkan apa yang kami  perlukan untuk menjalankan usaha. Ketika modal tiba, kami segera mengeksekusinya. Usaha orangtua saya itu ternyata memberi bekal pengalaman lumayan besar pada hidup saya saat ini. Terima kasih Bank BRI, selamat berulang tahun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H