Kulihat, ia menghentikan ayunan tangan gemulainya di atas cobek. Serbet kotak masih menggantung di pundaknya. Kini tangan dan matanya asik mengamati sobekan koran bungkus cabe, yang kini isinya sudah ada di cobeknya.
"Sudah bu?"
Pertanyaanku, membuyarkan keasyikannya. Ia memandangku sambil tersenyum, lantas melanjutkan kembali aktifitasnya mengulek cabe. Membuatkanku sambel bawang. Sementara, nasi putih hangat yang mengepul sedari tadi mesti sabar menunggu temannya yang masih di proses oleh ibuku. Tak juga kunjung selesai.
Begitu aktifitas ibuku. Berburu bacaan dari koran-koran bekas bungkus bumbu-bumbu dapurnya. Mulai dari informasi politik, artis, ekonomi, kartun hingga resep masakan yang terkadang sudah hilang bagian terpentingnya. Ia tidak rela, bungkus-bungkus berharga itu begitu saja melayang ke tempat sampah. Meski ia juga tahu, informasi kadaluarsa itu tidak lagi terlalu berguna.
Ibuku, hanya lulusan sekolah dasar. Meski ia orang kota, tetapi karena tugas bapakku, terpaksa kami tinggal di pedalaman Sumatera Utara. Jauh dari akses informasi. Saat itu, perlu waktu dua hingga tiga jam untuk ke kota kecamatan. Itupun setelah berjuang sangat keras menaklukkan jalanan berlumpur bak kubangan yang Panjang. Tetapi itu tidak menyurutkan semangat ibuku menuntaskan kegemarannya, membaca.
Informasi terkini, tidak selalu didapat ibuku sebulan sekali. Saat bapakku, pulang dari kota membawakannya beberapa majalah dan tabloid. Beberapa diantaranya, sudah lama, informasinya tidak lagi baru. Itu tidak terlalu penting bagi ibuku. Karena yang terpenting baginya adalah, menuntaskan dahaganya dalam membaca. Selama apapun informasinya, jika ia belum tahu, selalu baru baginya.
Ia mengkliping bagian-bagian yang menurutnya penting, tak terkecuali resep masakan. Meski dalam hal ini, ibuku inkonsisten. Tidak ada resep masakan yang tidak enak kulihat, semuanya mengundang selera. Tetapi seringkali, kami harus menghadapi kenyataan. Masakan ibuku, selalu kembali ke menu favoritnya. Tidak berganti dari satu periode ke periode berikutnya. Sulit berharap ia mempraktikkan masakan baru dari resep yang ia kliping itu. Tetapi bukan berarti masakan ibuku tidak lezat. Kini masakannya itu selalu kurindukan.
Perlahan, apa yang dilakukan ibuku itu membekas di kepalaku. Ia selalu fasih menceritakan orang-orang hebat yang ia baca. Menikmati kisah dari petualangan orang ditempat-tempat paling menakjubkan di dunia, yang satu pun mungkin tempat itu belum pernah ia kunjungi. Ia selalu punya hal baru dari koran-koran usangnya. Ibuku mengajariku, bagaimana menyenangkannya membaca itu, meski ia hanya lulusan sekolah yang tingkatannya paling rendah itu. Selamat hari ibu, untuk ibu hebatku dan ibu-ibu hebat yang lainnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H