Peranakan Tionghoa adalah istilah untuk menyebut pendatang yang berasal dari negeri Tiongkok dan kemudian menetap secara turun temurun di Indonesia. Kedatangan orang-orang Tionghoa ke Indonesia ini terbagi ke dalam tiga generasi. Generasi pertama adalah mereka yang datang sebelum kedatangan para imperialis Eropa. Generasi kedua semasa imperialis Eropa, dalam hal ini saat VOC dan pemerintah Belanda berkuasa. Generasi ketiga adalah mereka yang datang pada saat setelah Indonesia merdeka. Setiap generasi memiliki dinamikanya masing-masing dalam membangun interaksi dengan masyarakat yang telah mendiami Indonesia sebelumnya.
Sebelum kedatangan bangsa Belanda, jumlah orang-orang Tionghoa masih sangat sedikit, hal tersebut disebabkan oleh adanya keterbatasan komunikasi dan tekanan kemaharajaan Tiongkok yang membatasi imigran secara besar-besaran. Aliran imigran Tiongkok meningkat tajam pada masa VOC berkuasa, sebab VOC menarik sebanyak mungkin pedagang Tionghoa dengan mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Hal ini tidak lain karena kepiawaian mereka dalam melakukan perdagangan. Bahkan Charles Choppel menuliskan, jumlah imigran Tiongkok terus meningkat meskipun VOC mengalami kebangkrutan dan digantikan dengan pemerintah kolonial Belanda.
Kebijakan VOC yang dilanjutkan oleh pemerintah kolonial Belanda dalam  memanfaatkan para imigran asal Tiongkok pada urusan perdagangan, ternyata berhasil menciptakan jaringan hubungan sosial baru di tanah jajahan. Menurut Sartono Kartodirdjo hubungan tersebut melampaui hubungan ikatan primordial.Â
Semakin lama, hubungan tersebut semakin melembaga yang lambat laun berkembang menjadi jaringan sosial yang dapat melahirkan integrasi. Kondisi ini dapat mengganggu berlangsungnya eksistensi pemerintah kolonial atas tanah jajahan. Sehingga perlu sebuah kebijakan strategis mencegah hal tersebut berlangsung. Maka sistem adu domba diadopsi untuk memelihara rasa permusuhan di antara komponen yang terdapat dimasyarakat tanah jajahan.
Pemerintah kolonial Belanda tidak hanya menghidupkan prasangka secara horizontal antar masyarakat Indonesia, namun juga vertikal melalui kebijakan stratifikasi sosial.  Dalam hal ini pemerintah kolonial  Belanda menempatkan masyarakat Indonesia ke dalam tiga golongan kelas. Wertheim dalam buku yang ditulis oleh I Wibowo menyebutnya sebagai colonial caste structure. Kelas utama diperuntukkan bagi golongan Eropa, golongan kedua bagi Timur Asing (Tionghoa, Arab dan India), dan kelas ketiga bagi orang-orang bumiputra.
Golongan Timur Asing diberi fasilitas dalam urusan perdagangan, prioritas bagi orang-orang Tionghoa serta peranakannya. Hal tersebut dikarenakan oleh pertimbangan kuantitas, Â orang-orang Tionghoa hampir tersebar di seluruh wilayah kekuasaan pemerintah kolonial. Namun di sisi yang lain, orang-orang Tionghoa tetap mendapat perlakuan diskriminatif dan tekanan-tekanan.Â
Pemberian keistimewaan dan pemberlakuan berbeda ini sengaja dilakukan agar kaum yang dirugikan berkecenderungan untuk memusuhi kaum yang dianak emaskan. Di lain pihak, kaum yang dianak emaskan akan selalu berada dalam keadaan terancam dan membutuhkan perlindungan dari pemerintah yang berkuasa. sehingga sulit bagi mereka untuk menentang keinginan pemerintah kolonial Belanda.
Peranakan Tionghoa adalah golongan elit dalam bidang ekonomi. Tetapi secara politik mereka tetap berada di bawah golongan Eropa. Sebagai penduduk kolonial bersama dengan masyarakat lainnya, Peranakan Tionghoa juga merasakan sentimen ketika nasionalisme tumbuh di kalangan masyarakat bumiputra.Â
Sentimen tersebut oleh Leo Suryadinata digambarkan sebagai sesuatu yang melahirkan dilema psikologis bagi masyarakat Peranakan Tionghoa, terutama berkaitan dengan penentuan arah perjuangan dalam menentukan orientasi nasionalismenya. Mereka diperhadapkan pada suatu kenyataan bahwa mereka tinggal di Indonesia (kolonial Belanda saat itu) yang sedang berjuang untuk  merdeka, di saat yang sama negara asalnya juga sedang berjuang untuk proses kesejajaran secara internasional. Diawali oleh terjadinya revolusi Tiongkok yang dimotori oleh Dr. Sun Yat Sen.
Sebagai masyarakat yang tinggal menetap di Indonesia jauh di masa sebelum kedatangan bangsa Belanda, Peranakan Tionghoa generasi pertama sebenarnya telah menyatu dengan penduduk Indonesia yang lain. Kebudayaan mereka pada masa sebelum kedatangan kolonial Belanda juga telah dapat terakulturasi dengan baik. Akan tetapi karena kebijakan kolonial, ikatan emosional tersebut meluntur. Di samping itu banyaknya pendatang baru asal Tiongkok yang langsung hidup dalam kebijakan kolonial tersebut sedikit banyak memberi pengaruh, terutama terkait bagaimana mereka memahami dan melihat nasionalisme Indonesia.
Setidaknya terdapat tiga orientasi nasionalisme yang berkembang di kalangan masyarakat Peranakan Tionghoa di Indonesia. Pertama, adalah mereka yang menjadikan negeri Tiongkok sebagai orientasi perjuangan. Orientasi nasionalisme yang berkiblat ke Tiongkok ini tidak lepas dari menyebarnya gerakan pembaharuan yang terjadi di negeri asalnya. Meski sebenarnya mereka sudah tidak lagi banyak mengenal negerinya, baik melalui kontak langsung, bahasa maupun keterikatan sosial.Â
Pengakuan pemerintah kolonial atas orang-orang Jepang yang sebenarnya golongan Timur Asing ke dalam masyarakat Eropa, setidaknya memberi dorongan masyarakat Peranakan Tionghoa di Indonesia untuk mendapat pengakuan yang sama. Membangun keterikatan dengan Tiongkok negeri asalnya diyakini dapat menjadi alternatif pilihan dalam memperjuangkan kesetaraan tersebut. Perjuangan mereka ini mereka suarakan melalui pers yang mereka kelola, seperti misalnya Sin Po.
Kedua adalah Peranakan Tionghoa yang dalam melakukan perjuangannya melihat kedudukan mereka sebagai kawula Belanda, penduduk  kolonial Belanda. Dengan demikian cara-cara yang mereka pakai adalah cara-cara konstitusional. Mirip dengan gerakan menuntut kesetaraan yang dilakukan oleh masyarakat bumiputra. Golongan ini tergabung dalam organisasi Chung Hwa Hui (CHH).
Ketiga adalah Peranakan Tionghoa yang menyadari kedudukannya sebagai rakyat Indonesia, sehingga mereka menganggap perlu melakukan perjuangan bersama dengan masyarakat Indonesia lainnya dalam memperjuangkan kemerdekaan. Kelompok ini mewujudkan keseriusannya dengan mendirikan Partai Tionghoa Indonesia (PTI) pada 25 September 1932 . Salah satu tokohnya adalah Liem Koen Hian.
Orientasi nasionalisme PTI ini diawali oleh gagasan Liem Koen Hian yang menuliskan  pendapatnya tentang siapa yang disebut orang Indonesia di surat kabar Sin Tit Po. Ia menyatakan ;
"perkataan Indonesier bisa berarti seorang Indonesier asli, yaitu artian etnologi dan juga bisa berarti rakyat dari negeri Indonesia, yaitu artian staatkundig. ....perkataan Indonesier tidak saja berarti seorang Indonesier asli, tetapi juga berarti seorang yang jadi rakyat dari negeri ini.....Saya berkeyakinan dalam tempo yang tidak terlalu lama akan lahir tidak saja orang Indonesier asli yang dinamakan Indonesier, tetapi juga Peranakan Tionghoa, Peranakan Belanda, Peranakan Arab..."
Gagasan Liem Koen Hian  ini didukung oleh Dr. Sutomo dan disampaikan dalam pidatonya dihadapan Peranakan Tionghoa peserta rapat di Surabaya pada 23 Agustus 1932.
Pandangan Liem Koen Hian tentang konsep Indonesier dan PTI juga menarik perhatian Ko Kwat Tiong, seorang pengacara Peranakan Tionghoa Semarang. Kemudian pada 9 Oktober 1932 dibentuklah PTI cabang semarang, pasca ceramah Liem Koen Hian yang bertemakan ; Pemikiran Indonesia  dan Tionghoa Peranakan di kota tersebut. Pemikiran tentang ke-Indonesian Peranakan Tionghoa lantang disuarakan oleh PTI melalui tokoh-tokohnya, surat kabar Sin Tit Po dimana Liem Koen Hian tercatat sebagai pemimpin redaksi menjadi corong tidak resmi PTI dalam menggelorakan gagasan tersebut.
Keragaman pandangan Peranakan Tionghoa di Indonesia untuk menentukan identitas kebangsaannya setidaknya dipengaruhi oleh beberapa hal. Pertama, kedudukannya yang dianggap sebagai orang asing oleh sebagian masyarakat bumiputra. Kedua, belum adanya nasion dalam artian negara bangsa Indonesia, karena pada saat itu masih berupa gagasan. Ketiga, mereka menghadapi sentimen nasionalisme bumiputra yang semakin menguat. Akibatnya Peranakan Tionghoa terpecah ke dalam tiga aliran yang masing-masing meyakini bahwa jalur politik yang mereka anut akan memperjelas keberadaan mereka. Sebagai orang Tionghoa, orang Belanda  atau orang Indonesia.
Politik stratifikasi sosial menyadarkan Peranakan Tionghoa akan kedudukannya sebagai masyarakat kelas dua. Dalam banyak bidang masih mendapat perlakuan diskriminatif, disamping itu keistimewaan yang dimiliki menimbulkan kerawanan pada hubungan dengan masyarakat bumiputra. Kesadaran atas hal tersebut mendorong mereka menuntut kesejajaran dan membangun kerjasama dengan masyarakat bumiputra. Apapun kiblat politik yang dipilih.Â
Setidaknya dalam hal ini antara Peranakan Tionghoa dan bumiputra menemukan simpul yang sama, yaitu memperjuangkan kesamaaan derajat. Posisi strategis Peranakan Tionghoa pada perekonomian pemerintah kolonial Belanda, dapat menjadi posisi tawar politis yang menguntungkan. Atas dasar itu pulalah tokoh-tokoh PNI seperti Soekarno merangkul tokoh-tokoh Peranakan Tionghoa, meski mereka berhaluan Tiongkok.Â
Karena menurut Soekarno lebih berharga orang Tionghoa yang mengambil haluan nasionalisme Tiongkok tetapi mendukung pergerakan Indonesia tanpa menghiraukan bahaya daripada yang menjadi orang Indonesia tetapi semata-mata karena ingin mendapatkan keuntungan. Keragaman haluan nasionalisme tak menghalangi sinergi positif antar mereka dan juga dengan tokoh-tokoh pergerakan nasional bumiputra. Pada gilirannya sinergi positif tersebut juga mendorong proses integrasi, seiring semakin jelasnya gagasan negara bangsa Indonesia.
Disarikan dari sumber :
Charles Choppel, Tionghoa Indonesia dalam Krisis, Pustaka Sinar Harapan
Leo Suryadinata, Dilema Minoritas Tionghoa, PT Garffiti Pers
I Wibowo, Harga Yang Harus dibayar, Sketsa Pergulatan Etnis Cina di Indonesia, Gramedia Pustaka Utama
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H