Mohon tunggu...
Julius Deliawan
Julius Deliawan Mohon Tunggu... Guru - https://www.instagram.com/juliusdeliawan/

Guru yang belajar dan mengajar menulis. Email : juliusdeliawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Pendidikan Sulit Maju, Jangan Cepat Menyalahkan Guru dan Sekolah

8 November 2017   09:21 Diperbarui: 9 November 2017   09:27 2586
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Membicarakan pendidikan di Indonesia, tak ada habisnya. Sebagian besar dari bahan pembicaraan masih bertemakan keprihatinan. Mulai dari rendahnya ketersediaan dan kualitas sarana fisik, minimnya prestasi, kebijakan yang tidak kondusif hingga rendahnya kualitas guru.

Negara ini ada, salah satu tujuannya adalah mencerdaskan kehidupan warga negaranya. Melalui kecerdasan, bangsa ini memiliki kemampuan bersaing. Berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dengan bangsa manapun di dunia. Melalui hal itu, kebanggaan menjadi bagian dari bangsa ini menjadi keniscayaan.

Pengemban langsung amanah ini adalah lembaga pendidikan formal. Secara structural, tudingan tersebut di atas  tidak salah, namun mengingat realitas persoalan pendidikan di negeri ini, itu tak sepenuhnya benar. Problematika pendidikan di negeri ini sangat kompleks, tetapi bukan berarti tidak bisa diurai. Butuh kebijakan yang komprehensif, konsisten dan kontinyu pengambil kebijakan, dan tentu saja dukungan masyarakat.

Masyarakat dan Paradigma Pendidikan

Mengarahkan telunjuk pada Kementrian Pendidikan, tetapi empat lainnya mengarah ke diri sendiri. Itu artinya, masyarakat memiliki tanggungjawab yang sebenarnya jauh lebih besar ketimbang kementrian atau lembaga pendidikan yang ada. Sehingga masyarakat pun tak boleh begitu saja memalingkan muka melihat persoalan kualitas pendidikan di negeri ini yang begitu-begitu saja.

Rendahnya kualitas guru, bisa dicermati dari berapa besar animo masyarakat  menginginkan dirinya menjadi guru. Guru bukan  pilihan utama bagi putra-putri terbaik di negeri ini. Menjadi guru hanya cita-cita semasa kecil. Meskipun pada akhirnya banyak juga yang tak punya pilihan lain. Tentu etos yang terbangun bisa dibayangkan. Rendahnya animo, karena menjadi guru bukanlah profesi yang menjanjikan dan bergengsi, walau kemuliaannya memang tak bisa dipungkiri. Namun kemuliaan saja sepertinya tak cukup.

Kebijakan sekolah gratis, di sisi lain menimbulkan pemikiran bahwa dunia pendidikan itu murah. Masyarakat tak berpikir, jika pendidikan itu mahal cuma memang mereka tak harus menanggungnya. Kebijakan gratis untuk semua memang tak terlalu mendidik masyarakat pada hal tersebut. Akibatnya sekolah hanya mengandalkan dana yang tersedia, mau melakukan pengembangan terbentur pendanaan,  sekolah pun hanya mampu jalan di tempat.

Kepanikan menghadapi UAN menunjukkan bahwa dunia pendidikan di negeri ini minim prestasi. Belum lagi jika mencermati standar nilai kelulusan yang sebenarnya sangat rendah. Evaluasi sebenarnya hal lumrah dalam proses pendidikan. Karena evaluasi, kegagalan jadi terlihat. Semestinya tak perlu dipersoalkan. Ini wajar, karena dalam proses pendidikan tidak berarti semua peserta didik, mampu menguasai apa yang dipelajari dalam waktu yang sama. Namun karena mentalitas itu tak tertanam, maka setiap kegagalan dalam proses pendidikan dianggap  memalukan, dan harus ditiadakan.

Sarana sekolah yang minim, bukan saja diakibatkan oleh kebijakan pemerintah yang tidak merata, namun juga karena minimnya partisipasi masyarakat. Belum ada sebuah system yang dikembangkan secara komprehensif agar sekolah dan masyarakat terbangun sebuah sinergi. Padahal apabila dicermati, banyak juga sekolah-sekolah yang minim fasilitas namun berada di lingkungan masyarakat yang sebenarnya kaya akan fasilitas.

Pada tataran  pembentukan karakter, sekolah sepertinya hanya mengajarkan nilai-nilai utopis. Karena pada kenyataannya nilai-nilai yang dianggap baik dan diidealkan terjadi, tak ditemukan faktanya di masyarakat. Tak ada keteladanan, masyarakat main terabas. Mulai dari masyarakat kelas bawah hingga ke elit politik. Sehingga lingkungan masyarakat tidak menjadi tempat kondusif bagi pengembangan nilai-nilai positif yang telah diajarkan oleh pendidik di sekolah.

Kenyataan di atas secara gamblang menunjukkan pada kita bahwa sebagian besar masyarakat di negeri ini tidak ramah pada dunia pendidikan. Mereka memang membutuhkan, tetapi bagaimana kebutuhan itu terpenuhi, mereka tidak mau tahu. Akar persoalannya bisa saja menunjuk pemerintah karena tidak memberi edukasi yang cukup. Namun, itu hanya akan berputar-putar dan membuat persoalan pendidikan menjadi semakin ruwet.

Penciptaan iklim ramah pendidikan

Menjadi cerdas, dan mendapatkan pendidikan berkualitas adalah hak setiap warganegara. Ini harus kita rebut, sudah saatnya untuk diperjuangkan. Setiap bagian dari masyarakat dapat memberikan kontribusi sesuai dengan apa yang memang bisa dilakukan. Tidak mudah memang, karena masyarakat belum memiliki system dan organisasi bagi kepentingan tersebut. Kalaupun terdapat organisasi yang berjuang demi kepentingan tersebut, belum sepenuhnya melibatkan seluruh kekuatan masyarakat.

Memberi ruang lebih luas bagi dunia pendidikan untuk mengembangkan diri adalah hal yang bisa dilakukan oleh masyarakat. Ruang kelas tidak terbatas pada dinding sekolah, tetapi juga lingkungan masyarakat. Paradigma kelas adalah ruang bertembok harus segera dikikis. Ramah pada dunia pendidikan bisa ditunjukkan dengan kepedulian pada peserta didik dan mereka yang terlibat pada dunia pendidikan. Melalui hal tersebut, siapapun yang ada di dunia ini, akan terapresiasi sekaligus terdukung secara moral.

Masyarakat yang permisif pada prilaku pelajar yang melanggar nilai dan norma, harus mulai diubah. Sikap tegas dan mendidik harus ditunjukkan segenap masyarakat pada mereka yang berseragam. Pembiaraan oleh masyarakat membuat beragam penyakit pelajar  tak kunjung berkurang. Melalui kepedulian segenap masyarakat, di manapun berada, siswa merasa berada di lingkungan 'sekolah'nya.

Keterbatasan sarana pendidikan di sekolah, bukan berarti juga tak ada sarana tersebut di lingkungan masyarakat. Lingkungan alam dan sosial, adalah kajian akademik yang real, dan hal itu sudah tersedia di lingkungan masyarakat. Masyarakat tinggal mendukung apa yang diinginkan oleh sekolah. Sekolah cerdas, menjadikan masyarakat dengan berbagai lingkungannya sebagai sumber belajar yang memadai. Laboratorium terdapat dimana-mana, itu bisa terjadi jika masyarakat meng-apresiasi proses dan membuka akses seluas-luasnya bagi pendidikan.

Masyarakat hendaknya melihat pendidikan sebagai investasi, yang bernilai sangat tinggi. Melalui pemaknaan demikian, tentu tak ada yang memandang sebelah mata pada mereka yang melibatkan diri di dunia pendidikan. Karena di tempat inilah terletak masa depan mereka. Para pelaku pendidikanlah yang mengelola investasi besar masyarakat, sehingga ruang bagi berkembangnya investasi akan selalu mendapat tempat dan dukungan bagi mereka yang menginvestasikan masa depannya itu. Image masyarakat berubah, dunia pendidikan pun perlahan akan menampakkan 'wajah'nya yang cerah dan bergairah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun