Jadi guru SMA di "zaman now" itu gampang-gampang susah. Gampang karena segala informasi tersedia melalui internet. Susah, gara-gara internet guru jadi punya pesaing berat dalam menjalankan proses pembelajaran. Celakanya, pesaingnya itu menang segala-galanya. Internet lebih pintar dan mumpuni ketimbang gurunya. Mau cari apa aja ada di sana, kecuali kambingnya pak lurah yang hilang. Bahkan guru juga mesti nanya ke internet kalau ada sesuatu yang baru. Internet juga lebih menarik, mau belajar sambal bermain atau keliling dunia, semua bisa. Sementara, gurunya masih saja 'produk lama' yang susah 'move on'.
Beberapa teman pernah mengeluh, ada saja siswa yang coba-coba menggunakan hp-nya saat jam pelajaran. Apalagi kalau bukan berurusan dengan sosial media. Lagi-lagi, itu juga internet. Aturan ditegakkan, hp disita. Tetapi tetap saja, itu tidak menyurutkan pelanggaran demi pelanggaran berikutnya. Selalu saja ada yang cengar-cengir di belakang ketika guru menerangkan. Internetan. Para siswa merasa menang bisa mengelabui gurunya. Sepertinya memperhatikan pelajaran, padahal sedang asyik dengan dunianya. Satu dua memang, tetapi yang begini ini juga ngeselin.
Mendeklarasikan diri untuk menyatakan bahwa saya 'lebih menarik' dari internet dengan menggunakan pendekatan kekuasaan, bisa saja saya tempuh. Saya ini guru mereka, ada aturan main yang harus diikuti bersama.  Tetapi saya kok merasa, kemenangan itu tidak sepenuhnya ksatria. Ini hanya kemenangan di permukaan. Di balik itu, bisa saja saya jadi bulan-bulanan. Mereka ini generasi 'zaman now', yang menghidupi teknologi informasi. Maka arus derasnya tidak mungkin saya bendung. Pilihan bijaknya, memanfaatkan sesuai kemampuan. Biar seperti peselancar, melihat ombak bukan sebagai ancaman tetapi  potensi yang dapat digunakan untuk berprestasi.
Mengikuti apa yang dikuasai para siswa di dunia teknologi informasi, saya pasti nggak ada menangnya. Tetapi memanfaatkan teknologi informasi untuk proses pembelajaran, adalah bentuk Live Smart. Cara saya menjembatani, agar gap antara apa yang saya inginkan dalam proses pembelajaran dan dunia para siswa saya itu tidak terlalu 'njomplang'. Bahkan saya juga harus jujur pada mereka, jika saya masih perlu belajar banyak. Dengan begitu, akan lebih mudah bagi mereka memberi apresiasi. Intinya, saya  dan mereka para siswa saya itu, melakukan proses belajar  bersama.
Menggunakan cara pembelajaran yang dekat dengan dunia mereka, apalagi itu adalah hal yang mereka suka, sedikit banyak menimbulkan tafsir bahwa gurunya peduli, dan mau mengerti mereka. Ini dapat digunakan sebagai salah satu cara dalam membangun kepercayaan. Modal dalam proses pendidikan dan pengajaran. Saya memulai dengan memberi banyak ruang pada para siswa saya untuk menggunakan perangkat teknologi komunikasi mereka dalam proses pembelajaran. Selama, digunakan untuk mengakses apa yang diperlukan dalam menunjang pembelajaran. Di sekolah memang sudah ada fasilitas lab komputer  atau perpustakaan yang memiliki akses internet, tetapi bukan fasilitas itu yang saya maksud. Ini murni mengunakan fasilitas yang mereka miliki sendiri dan menggunakan beragam aplikasi yang selama ini akrab dengan mereka. Seperti misalnya sosial media . Hal ini terkait dengan aspek praktis dan hubungan yang lebih personal.
Sebagai guru, saya menyediakan konten yang memang diperlukan dalam proses pembelajaran. Bentuknya beragam. Bisa berupa materi, soal-soal, soal dan pembahasan dan juga komik tentang materi pelajaran. Saya tinggal mengirim link itu ke grup kelas, atau beberapa link saya tautkan di blog yang saya buat khusus untuk pembelajaran. Semua fasilitas itu, Â menggunakan fasilitas gratisan, setidaknya untuk saat ini masih sangat mencukupi. Tetapi yang tidak kalah penting dari itu semua adalah ketersediaan akses internet yang memadai. Untuk ini saya pikir modem Wifi M5 Â direkomendasikan.
Keuntungan yang saya rasakan dengan metode ini cukup banyak. Pertama saya tidak merasa 'dikhianati' oleh siswa. Justru saya dan siswa bisa menikmati bersama dunia maya yang tanpa batas ini. Selain itu saya jadi kelihatan lebih 'pinter' dan juga menimbulkan kesan 'up grade' pengetahuan, meski faktanya ya baru nambah dikit pengetahuan saja. Pengetahuan hasil sering nanya sama 'om google'. Kedua, saya mulai meminimkan penggunaan kertas. Selama ini meja saya dipenuhi oleh tumpukan koreksian dan tugas-tugas para siswa. Jangankan memeriksa pekerjaan mereka, melihat tingginya tumpukan saja rasanya sudah stress. Belum lagi kondisi itu juga membuka peluang hasil pekerjaan siswa nyelip atau bahkan hilang. Berkat memanfaatkan program di internet, pengarsipan saya berangsur jadi lebih baik. Tentu saja masih banyak manfaat-manfaat yang lainnya.
Sehingga menurut saya, internet membuat kehidupan jadi lebih baik itu anggapan yang tidak berlebihan. Jika seandainya ada ekses negative dari keberadaannya, itu hanya soal ketidakdewasaan pemakainya. Semuanya itu butuh proses, dunia pendidikan saya pikir adalah tempat bagaimana hasil dari inovasi manusia itu dikaji dan diapresiasi. Meski kecil, tetapi saya sudah belajar memulai.@
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H