Mohon tunggu...
Julius Deliawan
Julius Deliawan Mohon Tunggu... Guru - https://www.instagram.com/juliusdeliawan/

Guru yang belajar dan mengajar menulis. Email : juliusdeliawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Problematika Kurikulum 2013

26 Agustus 2014   13:54 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:32 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di tengah kritik tajam berbagai elemen masyarakat, sepertinya pemerintah tetap teguh pada pendiriannya, menjalankan kurikulum 2013. Meski pelaksanaan awalnya terbatas pada sekolah-sekolah tertentu. Barangkali ini adalah cara pengambil kebijakan mengambil jalan tengah. Dilaksanakan secara terbatas, atau keseluruhan, ini hanya persoalan waktu, intinya tetap, kurikulum 2013 tak bisa ditawar dan akan tetap diberlakukan.

Kurikulum ini diyakini berdasarkan prinsip pedagogi modern, yakni menggunakan pendekatan scientific. Kompetensi siswa pun tidak hanya pada ranah pengetahuan, namun juga pada ranah sikap dan ketrampilan. Ketiganya diukur melalui penilaian otentik. Dengan demikian siswa memperoleh kemampuan belajar secara lebih komprehensif.

Realitas social sebagai pijakan kebijakan

Kondisi masyarakat negeri ini saat ini, diyakini sebagai alasan kenapa kurikulum 2013 perlu dihadirkan. Kurikulum ini dipercaya adalah ‘solusi’ bagi berbagai persoalan bangsa yang kini sedang mendera. Mental masyarakat yang korup, mau menang sendiri dan rendah tanggungjawab adalah realitas yang membutuhkan solusi. Pendidikan dapat dikatakan ‘gagal’ menanamkan rasa jujur, tanggungjawab, toleran dan nilai-nilai positif lainnya. Mentalitas korup terlanjur dan terus terserap ke dalam struktur social, pelakunya tak peduli tingkatan. Ironisnya sekian banyak pelakunya adalah insan-insan terdidik.

Pendidikan moral, dipandang sebatas pengetahuan. Tanpa kecapakan dalam melakukan implementasi. Pendidikan agama, baru diajarkan pada tataran teori dan ritual, belum sampai pada bagaimana keberadaannya dijalankan dalam kehidupan sehari-hari. Ada dikotomi antara teori dan praktik, terlebih pendidikan baru mengedepankan pada ranah kognitif (pengetahuan). Sikap yang merupakan pondasi, baru sebatas kepentingan administratif. Pada kurikulum 2013 itu diharapkan tak terjadi lagi. Sebab pada prosesnya, antara sikap, pengetahuan dan ketrampilan dijalankan secara berimbang. Bahkan sikap dibelajarkan dalam semua mata pelajaran.

Di aras ide, apa yang dilakukan pemerintah sesungguhnya sangat baik dan memang harus demikian. Karena bagaimanapun, masyarakat terus berkembang dan dunia pendidikan dituntut mengikutinya bahkan mengarahkan laju perkembangan tersebut. Pendidikan adalah pandu bagi masyarakat, kemana mereka melangkah. Pada kepentingan ini, pendidikan tak boleh tertinggal dan kurikulum berperan sangat besar di dalamnya. Perubahan kurikulum, adalah sesuatu yang wajar.

Bagaimapun, sebuah kurikulum tak boleh mengasingkan peserta didik dari masyarakatnya. Sebab dari masyarakat dan kepada masyarakatlah nantinya peserta didik kembali. Profil lulusan tak boleh gagap pada lingkungannya. Sehingga kurikulum yang baik, harus senantiasa menjadi solusi pada persoalan-persoalan yang terdapat di masyarakat. Kurikulum 2013 pun diyakini demikian.

Hasil dari apa yang dilakukan saat ini memang tidak langsung terlihat, namun pemerintah yakin pada mereka yang kini dididik menggunakan kurikulum 2013 akan menjadi generasi emas. Optimisme semacam itu, boleh-boleh saja. Kebijakan, jelas memerlukan tujuan. Tetapi pemerintah juga memerlukan hitung-hitungan lain dalam melihat proses demi suksesnya tujuan dari pemberlakuan kurikulum ini. Bukan persoalan teknis di lapangan semata, namun lebih daripada itu.

Siswa hidup di laboratorium social

Di awal sudah ditegaskan, bahwa kurikulum ini diangkat dari realitas social. Di lingkungan social inilah siswa berkembang secara biologis dan psikologis. Waktu yang ada, jauh lebih lama ketimbang di lingkungan sekolah. Hal ini membuat split antara gambaran ideal, dan praktik dalam masyarakat. Menjalankan apa yang ideal, siswa terasing pada kehidupannya sendiri. Terlebih, tak ada sosok yang dapat ia temukan sebagai teladan. Seiring dengan media yang secara terus menerus memberitakan bagaimana pejabat publik melakukan tindakan tercela.

Lingkungan social, adalah laboratorium bagi siswa. Di tempat itulah mereka bereksperimen, mencari pemahaman-pemahaman baru. Namun apabila teori-teori yang selama ini mereka pahami di sekolah itu ‘gugur’, sedikit banyak akan membuat siswa ‘terguncang’. Ada ketidakpastian yang mereka temukan dalam proses belajar. Kondisi inimembutuhkan peneguhan, persoalannya apakah guru dan perangkat untuk itu sudah dipersiapkan?

Mind set guru

Pemberlakuan kurikulum 2013, mengalami banyak resistensi dari kalangan pengajar. Ada berbagai alasan, satu diantaranya adalah pada persoalan paradigma. Mengubah kebijakan kurikulum, berbeda dengan bagaimana kurikulum itu diimplementasikan. Ada banyak pihak yang terlibat di sana, persoalannya apakah mereka memiliki pemahaman yang sama? Sejauh ini memang banyak hal telah dilakukan kementerian pendidikan untuk menyamakan persepsi. Tetapi sejauh yang saya pahami itu belum maksimal, apalagi optimal.

Kurikulum boleh saja menggunakan pendekatan paling mutakhir, namun apabila SDM pelaksananya masih berpikir dengan cara yang lama, maka hasilnya tak akan berbeda. Perubahan paradigma membutuhkan waktu yang panjang, karena ini menyangkut isi kepala. Belum lagi bagi mereka yang sudah berada di ‘area nyaman’ dengan apa yang telah dijalani dan dengan apa yang ada, perubahan akan menjadi persoalan serius. Sehingga dari banyak kalangan pengajar, perubahan kurikulum ini hanya tak ubahnya seperti perubahan administrasi, gaya dan cara mengajar masih tetap seperti yang lama.

Kebijakan ‘ambigu’

Keseimbangan pada proses, berkorelasi jelas pada hasil yang juga berimbang. Pertanyaannya, apa yang menjadi ukuran keberhasilan yang kemudian dapat dipertanggungjawabkan untuk seseorang naik jenjang? Lagi-lagi, pengetahuan masih menjadi garda terdepan. Terlalu sulit mengukur sikap. Kenyataan ini diperkuat masih diberlakukannya Ujian Nasional di beberapa jenjang. Maka tradisi baru pun akan sangat sulit dibudayakan. Pada realitasnya, UAN bagi sekolah adalah momok sekaligus target pencapaian. Bukan alat pemetaan semata, meski begitu alasan yang sering disampaikan oleh pemerintah. Alasannya jelas, paradigma belum berubah.

Apa yang diinginkan oleh pengambil kebijakan di satu sisi dan apa yang kemudian diberlakukan pada sisi yang lain, saya melihatnya sebagai sesuatu yang ambigu. Khalayak dibingungkan dengan, ‘apa sih yang sebenarnya dikehendaki oleh pemerintah?’. Belum cukup gamblang saya pikir penjelasan yang selama ini diberikan. Ini juga menyangkut masih ‘bingungnya’ mereka yang berada di garda terdepan kementerian pendidikan. Ini tampak dari seringnya terdapat perbedaan antara pejabat yang satu dengan pejabat yang lain pada persoalan teknis. Meski sebagian besar telah memahami prinsip dasarnya.

Apa yang saya kemukakan, adalah gambaran masih terdapatnya berbagai persoalan dalam implementasi kurikulum 2013. Learning by doing, begitulah kira-kira ungkapan yang tepat. Namun pengambil kebijakan juga harus melihat berbagai persoalan ini. Mengevaluasi dan menjelaskan pada masyarakat dengan jujur. Saya sangat yakin masyarakat negeri ini memiliki sikap memaklumi sangat tinggi. Mereka gampang mengerti, dan kejujuran penguasa, itulah yang kini mereka rindukan. Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun