Mohon tunggu...
David J. Prasetyo
David J. Prasetyo Mohon Tunggu... Freelancer - Blogger - Content Writer

Cuma Juru Ketik, Jangan Terusik

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Menyoal Tapera, Alasan ini Harus Dipertimbangkan Ulang!

5 Juni 2024   01:50 Diperbarui: 5 Juni 2024   13:09 299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kehebohan jagad maya di Indonesia memang tidak ada hentinya. Akhir-akhir ini ramai warganet membahas tentang sebuah aturan yang baru saja disahkan oleh Presiden Jokowi. Aturan ini bernama TAPERA.

TAPERA (akronim Tabungan Perumahan Rakyat) ialah sebuah program tabungan yang dirancang oleh pemerintah yang bertujuan untuk membantu masyarakat (dalam hal ini pekerja) untuk dapat memiliki rumah. Namun, bukannya mendapat dukungan aturan ini justru ramai ditolak oleh banyak pihak. Mengapa?

Sebagian besar warganet kontra dengan aturan ini dan justru meminta Presiden Joko Widodo untuk mencabut aturan ini. Di sisi lain juga ada beberapa kelompok yang juga mendukung aturan ini. Entah apapun alasan dibaliknya yang pasti mereka punya dasar yang mungkin bisa dibenarkan.

Sebagai buruh pabrikan saya sendiri menolak aturan ini dan menilai aturan ini sebagai aturan konyol. Tentu hal ini berdasar pada kondisi yang saya alami dan melihat berbagai kemungkinan yang mungkin terjadi kedepannya.

Tanggungan Ganda, Semakin Mencekik Pekerja

Sesuai Peraturan Pemerintah no.21 Tahun 2024, mengatur besaran nominal biaya yang ditanggungkan untuk peserta program ini. Setidaknya senilai 3% dari gaji dan dibantu 0.5% oleh perusahaan. Artinya pekerja termasuk buruh ini masih dibebankan sebesar 2.5% dari gaji.

Mungkin memang angka yang cukup kecil. Namun diluar dari itu pemerintah lupa bahwa pekerja juga memiliki tanggungan lain yang juga dimutasikan dari gajinya. Beberapa diantaranya :

  • Pajak Penghasilan (PPh 21) sebesar 5%-35% sesuai penghasilan
  • BPJS Kesehatan sebesar 4% (+1% dibayar perusahaan)
  • BPJS TK (JHT) sebesar 2% (+3.7% dibayar perusahaan)
  • BPJS TK (JP0 sebesar 1% (+2% dibayar perusahaan)
  • BPJS TK (JKK & JKM) sebesar 0.54%
  • Jika ditambah TAPERA sebesar 2.5%

maka dengan banyaknya potongan dasar ini maka besar potongan ialah senilai 10.04%.

Angka ini belum termasuk PPh 21 karena besarannya yang berbeda-beda PKPnya (Pendapatan kena pajak) dan mungkin di beberapa perusahaan (termasuk perusahaanku) ada potongan Kas SPSI.

Bahkan disebut bahwa potongan total tiap pekerja bisa sampai 18% - 19.74% perbulannya.

Dengan demikian seandainya seorang pekerja dengan upah 4.500.00 maka gaji akan dipotong sebesar 451.800 secara PAKSA. Sisa gaji  senilai 4.048.200 ini adalah gaji yang diterima dan dibawa pulang pekerja. Diluar dari itu sangat mungkin pekerja memiliki tanggungan lain seperti cicilan kendaraan, bank, atau sejenisnya. Ini akan semakin mencekik pekerja untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari.

Dual Kebijakan Program BPJS dan BP Tapera, Buat Apa?

Selain dibebani banyaknya potongan pada poin sebelumnya, hadirnya program Tapera ini justru akan menjadi redundan dari program sebelumnya yang dibawa oleh BP Jamsostek.

BP Jamsostek memperkenalkan Manfaat Layanan Tambahan (MLT) - Jaminan Hari Tua (JHT) yang mana dalam program ini memberikan peserta mendapat kemudahan Kredit Pemilikan Rumah (KPR).

Uniknya, program ini juga dikenalkan pada tahun yang sama saat UU Tapera disahkan, yakni pada 2016. Tepatnya dalam Permenaker No. 35 Tahun 2016. yang kemudian direvisi pada Permenaker No. 17 Tahun 2021. Bahkan program ini juga sempat disinggung dalam Peraturan Pemerintah nomor 46 Tahun 2015.

Syarat yang diberikan oleh MLT-JHT ini juga tidak jauh berbeda dari Tapera. Yakni setidaknya sudah menjadi anggota minimal 12 bulan, tertib angsuran, dan digunakan untuk rumah pertama. Ya, syarat ini sangat mirip dengan syarat yang diberikan oleh TAPERA.

Lalu untuk apa pemerintah harus menerbitkan program baru yang isinya hampir sama bahkan bisa dibilang "plek-ketiplek" ini?

Tapera Bukti Pemerintah Lepas Tanggung Jawab

Mungkin banyak yang berpikir kebutuhan papan adalah bagian dari ranah privat seseorang. Sehingga banyak orang yang bekerja keras untuk mewujudkan hunian sederhananya. Bahkan menjaminkan tanah mereka pada swasta untuk mendapat kredit bangunan. Padahal konstitusi mengamanatkan negara untuk memenuhi, melindungi, dan menghormati hak warga negaranya atas rumah mereka.

Dengan adanya Program Tapera ini maka negara bisa saja lepas tanggung jawab, dan mendelegasikan peran ini ke pekerja. Dimana pekerja harus menyisihkan uang mereka dan mengumpulkan kepada negara. Yang secara tidak langsung menurunkan daya beli dari pekerja itu sendiri.

Adanya program ini Negara tidak lagi memenuhi amanat sesuai konstitusi. Karena negara hanya berperan sebagai pengumpul dana dari para pekerja tanpa memberikan peran langsung dalam perencaan, pendidik, peremajaan, dan pembiayaan.

Sumber : internet
Sumber : internet

Rentan Penyelewengan dan Korupsi

Ketika menghimpun dana, maka perlu adanya kontrol dari masyarakat yang dananya dihimpun. Sehingga perlu adanya keterbukaan dan kepercayaan antara pihak pemberi iuran dan pengepul iuran. Sayangnya pemerintah menjadi subjek pengumpul dana yang cukup banyak dikhawatirkan. Hal ini tentu bukan tanpa alasan, histori kotor dari perjalanan sejarah yang berkaitan dengan dana kerap kali dipertunjukkan.

Semisal kasus Korupsi Asabri yang menilap uang hasil iuran dana pensiun dan jaminan hari tua para ASN Kemenhan dan TNI-Polri.

Kasus Korupsi fiktif TASPEN yang diduga merugikan negara hingga ratusan milyar rupiah, yang dananya berasal dana pensiun para ASN yang lagi-lagi sumbernya adalah potongan gaji ASN.

Bahkan BPJS Kesehatan juga memiliki histori yang buruk, beberapa kali dana diselewengkan di tingkat daerah. Misalnya kasus Korupsi RSUD Namlea, dan juga kasus suap Plt. Kadinkes Jombang kepada Bupati Jombang. Yang mana sebagian dana suap berasal dari kapitasi BPJS Kesehatan yang dihimpun melalui puskesmas-puskesmas di Kabupaten Jombang.

Buruknya rekam jejak pemerintah dalam mengelola dana masyarakat menumbuhkan kekhawatiran akan korupsi yang saat ini semakin menjadi-jadi. Dual program-kebijakan BP Jamsostek dan BP Tapera serta kurangnya pengalaman Tapera dalam mengelola dana jumlah besar menjadikan program ini sangat rentan penyelewengan dan korupsi.

Pak Presiden, BPJS Kesehatan dan Tapera itu Berbeda

Presiden Joko Widodo memberikan statement bahwa pro-kontra yang saat ini terjadi adalah karena program Tapera yang belum berjalan. Ia mencontohkan BPJS Kesehatan yang menghimpun dana peserta, yang mana setelah manfaatnya dirasakan banyak yang pro.

Padahal secara pengelolaan dan sistem kerja keduanya sangatlah berbeda. BPJS besarannya dinilai bergantung kelas yang dipilih sehingga bisa disesuaikan dengan kemampuan peserta.  Yang mana masyarakat membayar secara langsung kepada BP Jamsostek. Dan manfaatnya dapat langsung dirasakan ketika berobat di fasilitas kesehatan terdekat.

Hal ini sangat berbeda dengan Tapera, yang besarannya ditentukan dalam persentase gaji dan dipotongkan secara PAKSA. Juga proses penerimaan manfaat yang tidak secara langsung dirasakan. Dimana dana yang dihimpun akan disimpan oleh BP Tapera untuk diinvestasikan agar dana perumahan mengembang.

Yang mana hasil yang diterima nantinya akan berbeda-beda antara peserta satu dengan lainnya, karena besaran iuran yang diberikan juga berbeda. Karena dana dikembangkan melalui investasi, maka keberhasilan investasi oleh Manajer Investasi juga sangat berpengaruh pada hasilnya.

Maka akan sangat kurang apple-to-apple kalau membandingkannya dengan BPJS kesehatan, bapak.

Dengan alasan di atas, maka TAPERA bukan lagi Tabungan Perumahan Rakyat, melainkan Tambahan Penderitaan Rakyat!!!

Menelisik Sejarah Program Perumahan Rakyat

Sebenarnya program rumah rakyat sudah sangat sering digadang oleh banyak pemerintah sebelumnya. Jika melihat sejarah bahkan sejak masa Kolonial Belanda sudah pernah dirancang melalui N. V. Volkshuisvesting (Perusahaan Perumahan Umum) dan Gemeentelijke Woning Bedrijven (Otoritas Perumahan Kota), yang kemudian berakhir tidak tepat sasaran karena harga yang diberikan cukup susah dijangkau kalangan rendah. Pasca kemerdekaan program tersebut digagas lagi oleh Wapres Mohammad Hatta dengan kebijakan Rumah Jelata.

Kondisi politik saat itu tidak memungkinkan terlaksana program tersebut, sehingga akhirnya sampai masa Soeharto, menteri Perusahaan Umum masa itu, Rahdinal Muchtar, memperkenalkan Perumnas (Perusahaan Pembangunan Perumahan Nasional) untuk memperlancar program rumah rakyat. Dari Perumnas ini bekerja sama dengan Bank Tabungan Negara (BTN) sebagai penyedia kredit. Pada masa inilah dikenalkan istilah KPR (Kredit Pemilikan Rumah).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun