Mohon tunggu...
David J. Prasetyo
David J. Prasetyo Mohon Tunggu... Freelancer - Blogger - Content Writer

Cuma Juru Ketik, Jangan Terusik

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Opini Saya Tentang UU PPKS, Mas Menteri Sudah Benar

27 November 2021   13:34 Diperbarui: 27 November 2021   13:48 463
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gambar : Demo KAMMI menolak Permendikbud No. 30 Tahun 2021 di ACEH

Beberapa waktu lalu, Kementerian Pendidikan dan kebudayaan (Kemendikbud) mengesahkan Permendikbud nomor 30 Tahun 2021 tentag Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di lingkungan Perguruan Tinggi.

Menyusul disahkannya aturan ini, satu persatu sanggahan, kritikan dan berbagai tudingan mulai menghujani tubuh Kemendikbud. Hal ini karena sebagian mereka menganggap adanya celah untuk melakukan zina dengan basis "suka sama suka".

Disclaimer!!! Konten ini adalah opini pribadi penulis. Jika ada ketidak sesuaian dengan kehendak atau perbedaan sudut pandang dengan pembaca adalah hal wajar.

Salah satu yang dikecam dan mengundang kontra adalah pada pasal 5. Pasal ini mendefinisikan kekerasan seksual yang menjadi titik terbentuknya aturan ini. Dimana pada ayat pertama di pasal ini mendefinisikan yang cakupan kekerasan seksual yang meliputi kekerasan verba,fisik, nonfisik, hingga melalui media teknologi.

Menurut saya pada ayat ini, kemendikbud berupaya menghilangkan area abu-abu atau samar yang beberapa kali membingungkan dan menimbulkan tanya "Apakah tindakan ini termasuk pelecehan atau bukan?". Dengan terdefinisikan maka akan memperjelas suatu tindakan masih tergolong kekerasan seksual atau bukan.

Berlanjut pada ayat kedua, masih pada pasal 5, yang menyebutkan beberapa tindakan yang boleh jadi masuk kategori kekerasan seksual. Nah, pada ayat ini lah kontroversi mulai berdengung.

Beberapa hal yang diperdebatkan adalah :

  • b.   memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengajatanpa persetujuan Korban;
  • f.   mengambil, merekam, dan/atau mengedarkan fotodan/atau rekaman audio dan/atau visual Korbanyang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban;
  • g.   mengunggah foto tubuh dan/atau informasi pribadiKorban yang bernuansa seksual tanpa persetujuanKorban;
  • h.   menyebarkan informasi terkait tubuh dan/ataupribadi Korban yang bernuansa seksual tanpapersetujuan Korban;
  • j.   membujuk, menjanjikan, menawarkan sesuatu, ataumengancam Korban untuk melakukan transaksi ataukegiatan seksual yang tidak disetujui oleh Korban;
  • l.  menyentuh, mengusap, meraba, memegang,memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagiantubuhnya pada tubuh Korban tanpa persetujuanKorban;
  • m.  membuka pakaian Korban tanpa persetujuanKorban;

Pada beberapa poin huruf di atas, terdapat frasa yang dianggap memiliki celah. Yakni pada frasa "tanpa persetujuan korban". Menurut beberapa pihak yang kontra, jika tanpa persetujuan korban bisa dianggap kekerasan seksual, maka jika dengan persetujuan dan berasas suka sama suka itu diperbolehkan. Dan hal ini sama artinya dengan memperbolehkannya seks bebas atau Zina.

Tapi Apakah Bisa Disebut Seks Bebas itu Legal?

Menurut saya, hal ini tidak dapat langsung diputusi demikian. Melihat konteks dan tujuannya dibuat Permendikbud tersebut maka akan ditemukan kesesuaian dengan isi.

Pertama, konteks permendikbud ini adalah Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual. Ingat, KEKERASAN SEKSUAL. Dimana frasa kekerasan adalah ssesuatu yang tidak diinginkan dan memungkinkan menimbulkan pihak korban dan pelaku. Hal ini akan berbeda konteks lagi jika berdasar suka sama suka yang mana pasangan melakukannya sukarela dan tanpa paksaan. Sehingga tidak dapat menimbulkan korban ataupun pelaku. Bahkan menurut saya keduanya adalah pelaku tanpa korban.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia juga demikian. KBBI mengartikan kata kekerasan dengan tindakan individu atau kelompok yang menimbulkan cedera bahkan kematian, juga menimbulkan kerusakan fisik atau barang milik orang lain. Selanjutnya KBBI juga mengartikan kata tersebut dengan tindakan yang memaksa.

Maka menurut saya, sesuai dengan konteksnya pasal dan ayat-ayat tersebut sudah sesuai dan tidak bisa disandingkan dengan logika "kalau dengan sepersetujuan boleh, dong."

Logika yang saya terapkan itu begini, semisal di sebuah jalan di tepinya terpampang papan bertulis "Dilarang Kencing Di Sini", apakah itu berati "Boleh Berak Di Sini". Tentu tidak bisa langsung diartikan demikian dong. Maka untuk mendapatkan arti sesungguhnya, saya memahami konteks papan itu. Ternyata saya dapatkan konteksnya adalah agar area sini bersih dan tidak bau. Maka akan diartikan "Jika kencing saja tidak boleh apalagi berak".

Jikalau merujuk pada tujuannya, Mendikbud disini berusaha membangun lingkungan pendidikan yang manusiawi, bermartabat dan setara. Disisi lain, mas menteri Nadiem Makarim juga mengambil statement bahwa ini untuk melindungi hak warga negaara untuk memperoleh pendidikan yang layak dan berkelanjutan. Hal ini melihat dampak dari kekerasan seksual yang makin marak di lingkungan kampus. Dimana kebanyakan korban selalu mengalami trauma berat bahkan musti putus kuliah karena takut dikucilkan dan efek trauma lain.

Perlukah Mendikbud Merevisi PPKS?

Menurut saya tidak perlu, karena isi pasalnya sudah sesuai dengan konteks dari aturan tersebut.

Lantas bagaimana dengan perzinaan yang berasas suka-sama-suka?

Untuk urusan perzinaan ini sudah diluar konteks kekerasan seksual yang sedari awal mendasari dibentuknya PERMENDIKBUD  ini. Disisi lain, urusan hubungan intim ini termasuk ranah privasi. Dimana negara tidak dapat mengusik atau mencampuri privasi seseorang secara langsung. Namun, ranah ini bisa saja menjadi publik pada kondisi tertentu.

Semisal sepasang laki-laki dan perempuan melakukan hubungan intim. Namun keduanya bukan suami istri. Meskipun berasas suka sama suka, maka keduanya bisa saja dijerat pasal. Hal ini melihat konteks keduanya atau salah satunya memiliki suami/istri sah. Meskipun ranah privasi, karena ada pihak yang merasa dirugikan, maka ketika pihak ini melaporkan dan menggugat pasangan sah beserta selingkuhannya maka ranahnya akan menjadi publik dan bisa dihukum.

Adapun dakwaan yang bisa dibebankan kepada pasangan ini adalah pada pasal 284 KUHP dengan hukuman kurungan 9 bulan.

Beberapa waktu lalu, pasal perzinahan dan Draft RUU KUHP juga sedang ramai dibahas. Maka jika RUU ini sudah disahkan, akan semakin melengkapi permendikbud yang kontroversial ini. Tepatnya pada pasal 417 RUU KUHP yang menghukum pelaku perzinahan dengan hukuman satu tahun penjara atau denda maksimal 10 juta rupiah.

Namun, lagi-lagi, karena ranah awalnya adalah privasi, maka UU ini nantinya bisa menjerat jika ada aduan dari pasangan sah atau yang dirugikan. Dengan kata lain, deliknya adalah aduan.

Closing Statement!

Maka melalui opini ini saya menyatakan bahwa aturan ini sudah sesuai proporsinya. Dimana isi dan pasal kontroversial yang mengandung makna TANPA SEPERSETUJUAN KORBAN adalah sesuai dengan konteks KEKERASAN pada judul  Permendikbud. Adapun sanggahan untuk pihak yang kontra adalah perlunya memahami konteks dan mencari alternatf lain sebagai bahan pertimbangan serta solusi. Sebagaimana kalimat "Kalau dengan setujuan korban boleh dong" sedang di sisi lain ada pasal perzinahan yang sedang disiapkan. Selain itu, ranah privasi seseorang tidak serta merta negara dapat masuk di dalamnya, oleh karena sifat UU yang mengatur privasi ini berdelik aduan.

Sekali lagi ini adalah opini saya pribadi. Mungkin ada beberapa hal yang tidak sesuai dan tidak satu sisi sudut pandang dengan ppembaca, maka saya anggap itu adalah suatu kewajaran dalam berfikir. Jika Anda memiliki perspektif lain, boleh diskusikan di kolom komentar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun