Mohon tunggu...
Jubir Darsun
Jubir Darsun Mohon Tunggu... -

Memasuki pergaulan orang-orang besar sama saja dengan memasuki sarang binatang buas. mereka berkelahi satu sama lain, tak puas dengan korban. bodoh sekali memasuki sarang binatang buas tanpa senjata (Pram, jejak langkah)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Wera, Riwayatmu Kini

28 Agustus 2018   15:49 Diperbarui: 29 Agustus 2018   17:58 361
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada banyak lelucon dan cerita menggelikan yang menggambarkan orang wera (saat masih gabung dengan kecamatan Ambalawi) jauh terbelakang dari peradaban. Lelucon dan cerita menggelikan tersebut saya dapat ketika remaja atau saat kadang bertemu dengan kawan-kawan seperjuangan diperantauan yang berasal dari Bima.

Konon pernah ada orang Wera yang pergi ke kota Bima untuk membeli teko. Sesampainya di kota Bima, orang tersebut pergi ke sebuah toko yang menjual barang kebutuhan sehari-hari termasuk teko. 

Sialnya, sesampainya di toko tersebut, orang wera ini hanya mengerti teko dalam bahasa daerah. Sejurus kemudian ia memperagakan bahasa tubuh sebagai alat komunikasi bahwa ia hendak membeli teko.

Pernah juga ada cerita tentang seorang bapak Tua lusuh yang lagi-lagi pergi ke kota Bima hendak membeli kendaraan. Sesampainya di toko yang menjual kendaraan ia di bentak-bentak oleh penjual seraya berkata bahwa orang tua tersebut tak akan mampu membeli kendaraan karena harganya mahal. Orang tua itu lantas membuka tas dan menjejerkan uang yang dibawanya. Si penjual pun melongo dan meminta maaf.

Lelucon dan cerita menggelikan di atas selain ingin menggambarkan Wera sebagai kecamatan yang jauh tertinggal juga secara implisit ingin dikatakan bahwa orang Wera sangat inferior dibandingkan yang lain. Ga level gaya bahasa anak muda zaman sekarang.

Dalam perjumpaan dengan teman-teman Bima yang ada di Jakarta, candaan tentang Wera kadang muncul sebagai perekat persahabatan. Seorang senior yang menduduki jabatan penting di organisasi kepemudaan tingkat Nasional pernah berkelakar ketika sesekali berjumpa dengan saya. Eh, di Wera sudah di aliri listrik belum sih? Lalu ia pun tertawa terbahak-bahak.

Itu wera Tempo dulu. Wera telah bersolek dan berubah. Pola pikir dan orientasi hidup pun berubah. Seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, imajinasi anak muda Wera makin menemukan titik keseimbangan baru Mau bukti?

Seorang anak muda Wera kini menduduki jabatan penting dalam organisasi Kemahasiswaan ekstra Kampus tingkat Kabupaten. Organisasi Kemahasiswaan yang punya sejarah dan prestasi melahirkan tokoh-tokoh penting di Republik. Ini prestasi penting sebagai titik tumpu bagi perubahan kecamatan Wera.

Di sektor kelembagaan pemerintah, anak muda Wera saat ini masuk menjadi salah satu 'wasit' dalam upaya menciptakan pemilu serentak yang jujur, adil dan bermartabat. Dalam dunia Politik? Jangan tanya deh!

Gubernur NTB terpilih dengan riang gembira hadir di Wera untuk melihat dari dekat hasil kekompakan dan kerjasama anak muda menggali kembali nilai-nilai luhur, warisan budaya. Lomba sampan tradisional. Event ini konon menjadi event tahunan tingkat Provinsi NTB.Wera kini adalah Wera yang hidup, Wera yang optimis dalam imajinasi kreatifitas anak muda. Wera yang makin siap mensejajarkan dirinya dengan daerah-daerah yang lebih dulu maju di Kabupaten Bima.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun