Melalui surat edaran seskab bernomor12/seskab/XI/2014, Presiden Jokowi untuk sementara waktu melarang para menterinya berembuk dengan Dewan. Ihwal pelarangan ini, presiden berdalih karena situasi DPR RI pasca pelantikannya belum betul-betul kondusif, tersandera kepentingan Koalisi Indonesia (KIH) Hebat dan Koalisi Merah Putih (KMP).
Reaksi keras atas pelarangan ini berdatangan dari Senayan. Melalui dua vokalis yang selama ini selalu sigap dan kritis terhadap kebijakan pemerintah, Fadli Zon dan Fahri Hamzah, sekawan politisi muda yang kini duduk sebagai pimpinan DPR RI mengeluarkan pernyataan sinis namun intelek untuk dikaji secara mendalam.
Melalui salah satu harian bisnis Jawa Timur,wakil sekjen DPP PKS ini berang dan menyatakan bahwa “Presiden Joko Widodo atau Jokowi belum tahu betul ‘abjad’ kerja pemerintahan”. Jika pernyataan keras Fahri ini dimaksudkan untuk membantah pernyataan Presiden Joko Widodo pada tanggal 24 November 2014 soal pelaranganmenghadiri rapat-rapat dengan DPR-RI, apa yang disampaikan tokoh kontroversial yang cukup dikenal lewat pernyataan kerasnya tentang pembubaran KPK benar adanya.
Bagaimana mungkin seorang kepala pemerintahan tak memahami tata kelola pemerintahan. Rezim boleh berganti akan tetapi kebijakan-kebijakan pemerintahan sebelumnya berjalan linier dan harus dievaluasi secara berkala oleh pemerintah saat inibersama DPR-RI. Untuk itulah pentingnya RapatDengar Pendapat (RDP) antara menterikabinet kerja dengan DPR-RI periode 2014-2019. Inilah yang disebut dengan kesinambungan mekanisme check and balances dalam trias politica.
Kepongahan Presiden Joko Widodo dalam pernyataan persnya ketika surat edaran seskab bocor ke pers adalah pernyataan yang tidak menghargai fungsi dan kewenangan antar lembaga Negara. Presiden mestinya juga menyadari betul bahwa apa yang dikatakannya adalah Hukum, sabda pandito ratu.Pernyataan Presiden adalah cermin dari sebuah konstitusi, cermin bangsa.
Bila konflik antarlembaga Negara ini berlarut, dapat dipastikan semua agenda kesejahteraan yang dijanjikan pemerintahan Jokowi terhambat. Bukan tidak mungkin, DPR-RI dengan kekuatan politikkoalisi, dengan menimbang tidak adanya niat baik dari pemerintahan Jokowiuntuk mengharmonisasi hubungan, maka dapat diupayakan suatu pengajuan sengketa kewenangan antarlembagaNegara yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar ke Mahkamah Konstitusi.
DPR-RI dapat menjadi legal standing dan memohonkan kepada majelis hakim Mahkamah untuk dapat memutus sengketa yang dimaksud karena kewenangan konstitusionalnya diambil, dihalangi, dikurangi, diabaikan, dan/atau dirugikan oleh lembaga Negara lain (Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 08/PMK/2006). DPR-RI berkepentingan langsung terhadap kewenangan yang dipersengketakan.
Penulis sangat menyadari, bahwa budaya atau kultur birokrasi dan pemerintahan kita sangat tidak terbiasa untuk menggunakan mekanisme hukum dan peradilan bagi penyelesaian perbedaan pendapat dan sengketa kewenangan antarlembaga Negara, maka pengaruh pimpinan Negara dan Pemerintahan berpengaruh besar dalam menentukan untuk diajukan atau tidaknya penyelesaian sengketa melalui mekanisme hukum dan peradilan.
Demi tegaknya Negara hukum, penulis berpandangan, bahwa konflik konstitusional antara kedua lembaga Negara ini harus diselesaikan melalui jalurhukum. Penyelesaian secara adat yang acap kali kita saksikan ketika bersilang sengketa antara lembaga Negara pada era pemerintahan SBY adalah cara-cara usang, tak bermartabat. Pimpinan Negara sudah sepatutnya memberi pembelajaran pada rakyat bahwa konflik-konflik yang menyeruak, entah itu di akar rumput maupun di tingkat elite harus diurai menurut tata aturan yang berlaku. Hukum harus tegak meskipunesok langit akan runtuh
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H