Di era modern saat ini, perempuan semakin banyak menunjukkan peran dan kontribusinya dalam berbagai bidang. Namun, perempuan mandiri masih harus berhadapan dengan tantangan berat akibat sistem patriarki yang mengakar dalam budaya masyarakat.
Sebut saja Rani (19), seorang perempuan muda dari desa kecil di Jawa Barat. Ia baru saja diterima di universitas ternama, sebuah pencapaian besar yang diraihnya dengan kerja keras. Namun, di balik kebahagiaan itu, ia harus menghadapi komentar miring dari lingkungan sekitar.
“Sekolah tinggi-tinggi buat apa? Nanti juga ujung-ujungnya di dapur,” ujar seorang tetangga.
Patriarki: Sistem yang mengakar
Patriarki merupakan sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemimpin utama, sementara perempuan sering kali ditempatkan sebagai pihak kedua. Dalam budaya patriarki, perempuan dinilai berdasarkan peran tradisionalnya, seperti menjadi istri dan ibu, daripada pencapaian atau aspirasinya.
Sistem patriarki di Indonesia sulit dihapuskan karena telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari budaya yang diwariskan secara turun-temurun.
Beberapa studi, seperti yang dilakukan oleh Wayan dan Nyoman (2020) serta Sakina (2017), menunjukkan bahwa tradisi lokal atau adat sering kali mengandung nilai-nilai yang mendukung dominasi laki-laki, yang semakin memperkuat keberlanjutan sistem patriarki ini.
Kemandirian bukan melawan kodrat
Rani percaya bahwa pendidikan tinggi bukanlah penghalang bagi perempuan untuk menjalankan peran sebagai istri atau ibu. “Pendidikan itu bekal untuk menjadi individu yang lebih baik. Dengan wawasan luas, saya bisa mendidik anak-anak saya kelak dan menjadi pasangan yang setara,” ungkap Rani.
Selain itu, pendidikan tinggi juga dapat membantu perempuan menyeimbangkan peran domestik dan publik dengan lebih baik.
Tantangan perempuan mandiri
Menjadi perempuan mandiri di dunia patriarki memiliki sejumlah tantangan, di antaranya:
1. Stereotip gender
Perempuan sering dinilai bukan dari kemampuan atau pencapaiannya, tetapi dari status pernikahan atau peran tradisional yang melekat padanya.
2. Peran ganda
Perempuan yang bekerja harus menjalankan dua peran sekaligus, yaitu sebagai profesional di tempat kerja dan pengurus keluarga di rumah.
3. Tekanan sosial
Keputusan perempuan sering dipertanyakan, terutama soal menikah, punya anak, atau memprioritaskan karier.
4. Diskriminasi di tempat kerja
Perempuan sering kali harus bekerja lebih keras untuk mendapatkan pengakuan yang setara dengan laki-laki.
Harapan dan kolaborasi
Meskipun menghadapi banyak tantangan, perempuan mandiri tetap optimis untuk terus bermimpi besar. Rani, misalnya, bertekad untuk mematahkan stereotip dengan terus berprestasi.
“Kemandirian bukan berarti saya tidak membutuhkan laki-laki. Justru, saya ingin membangun hubungan yang saling mendukung dan melengkapi,” ujarnya.
Kolaborasi antara laki-laki dan perempuan dapat menciptakan lingkungan yang lebih inklusif. Yang terpenting adalah saling menghormati dan mendukung, bukan saling bersaing.
Perempuan mandiri tidak hanya mempersiapkan diri untuk sukses, tetapi juga berkontribusi bagi masyarakat. Pada akhirnya, dunia membutuhkan lebih banyak perempuan hebat untuk menciptakan perubahan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H