Massa Gabungan dari Kepala Desa se-Indonesia menerobos masuk kedalam usai menjebol pagar saat melakukan aksi di depan Gedung DPR RI, Jakarta, Rabu (31/1/2024). Ribuan kepala desa dari berbagai daerah tersebut melakukan aksi demonstrasi mendesak revisi Undang-Undang Desa atau UU Desa.
Massa demonstrasi sempat memanas dan ricuh dengan petugas kepolisian saat massa menghancurkan salah satu pagar Gedung DPR dan memaksa masuk. Selain itu, massa juga sempat memblokir ruas Tol Dalam Kota. Sempat juga terjadi aksi bakar-bakaran dan saling lempar.
Ada sembilan organisasi desa yang ikut serta dalam aksi ini, yakni APDESI, AKSI, PP PPDI, DPN PPDI, ABPEDNAS, PAPDSI, PARADE NUSANTARA, KIB, PKD, dan KOMPAKDESI.
Aksi yang dilakukan oleh beberapa organisasi desa ini merupakan aksi yang menuntut revisi undang-undang Desa yang mana salah satu poinya mereka meminta perpanjangan masa jabatan Kepala Desa selama 9 tahun.
Dalam peristiwa yang mengejutkan dan memicu perdebatan luas di masyarakat, ribuan kepala desa dari berbagai wilayah di Indonesia melakukan aksi demonstrasi yang berujung pada penjebolan pagar Gedung DPR RI pada Rabu, 31 Januari 2024. Aksi ini bukan hanya sekedar demonstrasi biasa, melainkan sebuah manifestasi dari ketidakpuasan dan tuntutan mendalam terhadap revisi Undang-Undang Desa atau UU Desa, khususnya terkait dengan perpanjangan masa jabatan Kepala Desa menjadi 9 tahun.
Peristiwa ini mengundang pertanyaan besar: Apakah sepantasnya Kepala Desa menjebol pagar DPR? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu memahami konteks yang lebih luas dari aksi demonstrasi tersebut, serta implikasi dari tindakan mereka.
Pertama, penting untuk mengakui bahwa aksi demonstrasi merupakan salah satu bentuk ekspresi demokratis. Dalam konteks demokrasi, suara rakyat, termasuk suara kepala desa sebagai perwakilan dari desa-desa di Indonesia, harus didengar dan dipertimbangkan. Demonstrasi yang dilakukan oleh kepala desa ini mencerminkan adanya ketidakpuasan dan kebutuhan mendesak untuk merevisi UU Desa yang dirasa belum sepenuhnya mendukung kesejahteraan dan pengembangan desa.
Namun, penjebolan pagar Gedung DPR menimbulkan dilema etis dan hukum. Di satu sisi, tindakan tersebut dapat dipandang sebagai ekspresi kebebasan berpendapat yang dilindungi oleh konstitusi. Di sisi lain, penjebolan pagar dan tindakan ricuh yang menyertainya menyalahi prinsip-prinsip hukum dan ketertiban umum. Tindakan tersebut juga menimbulkan risiko keamanan dan keselamatan tidak hanya bagi para demonstran tetapi juga bagi petugas keamanan dan masyarakat umum.
Kedua, tuntutan untuk revisi UU Desa, khususnya perpanjangan masa jabatan Kepala Desa menjadi 9 tahun, merupakan isu substansial yang memerlukan diskusi dan pertimbangan matang. Perpanjangan masa jabatan ini di satu sisi dapat memberikan kesempatan lebih luas bagi kepala desa untuk melaksanakan program dan inisiatif pembangunan desa dengan lebih konsisten dan berkelanjutan. Namun, di sisi lain, hal ini juga menimbulkan kekhawatiran terkait dengan konsolidasi kekuasaan dan potensi penyalahgunaan wewenang.
Ketiga, respons pemerintah dan DPR terhadap aksi demonstrasi ini menjadi kunci penting dalam menyelesaikan konflik. Dialog yang konstruktif, terbuka, dan inklusif antara pemerintah, DPR, dan perwakilan kepala desa perlu segera dilakukan untuk mencari solusi yang adil dan berkelanjutan. Penanganan aksi demonstrasi dengan kekerasan atau tindakan represif hanya akan memperburuk situasi dan mengabaikan hak asasi warga negara untuk berpendapat dan berkumpul.