Mohon tunggu...
Juan Ray
Juan Ray Mohon Tunggu... Lainnya - warga sipil dari Minahasa

Merenung dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Lalang Rondor Malesung, Perjuangan Agama Minahasa Melawan Stigma

29 Juni 2024   16:09 Diperbarui: 29 Juni 2024   16:45 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam langgam perjalanan peradaban Nusantara, terlebih khusus di Bumi Minahasa. Orang Minahasa, memiliki kesadaran spiritual, interaksi kehidupannya, dengan kountur alam, yang berbukit-bukit, memiliki keanekaragaman hayati yang berlimpah, serta letaknya di poros perlintasan dunia Era Merkantilisme. Membentuk manusia Minahasa membentuk diri dan kesadaran untuk menggapai kekekalan yang diyakininya.

Perjalanan ini, sekaligus memberikan kesempatan manusia Minahasa menata peradabannya, bersentuhan dengan entitas spiritual, zat yang dipercaya secara langsung maupun dengan perantara dalam hidupnya menjadikannya sadar untuk berlaku hidup seimbang dan mengikuti rambu-rambu menuju kesemestaan.

Hasil refleksi dari sadur kesinambungan hiudpnya, memberikannya pengalaman spiritual. Momen atau peristiwa di mana seseorang merasakan hubungan mendalam dengan dimensi spiritual dalam kehidupannya. Ini bisa berupa pengalaman yang membuat seseorang merasa terhubung dengan entitas spiritual yang diyakininya, berdasarkan pendekatan ekologis dan pemahaman yang lahir secara empirik.

Seperti Orang Minahasa, memiliki kesadaran spiritualnya, yang banyak dibahasakan dengan Apo Wailan Wangko, Opo Empung, Opo Wananatas, Opo Wiawointana wo Langi, Apo Andangka, Sia Katare Nimema Tana wo Langi. Sebutan yang beragam ini muncul dalam kesadaran spiritual Orang Minahasa, sampai hari ini. Sebutan yang berbeda-beda adalah wujud perjumpaannya dengan refleksi dengan alam raya, serta latar belakang siapa dirinya, atau dalam wujud manusia Minahasa telah layak menyandang sebutan 'Tou'.

Minahasa dengan letak alamiahnya yang strategis dalam geopolitik, serta tanahnya memiliki sumber daya yang berlimpah kesempatan untuk berjumpa dengan entitas-entitas baru yang datang, membawa konsep hidup dari tempat asalnya, maupun konsep hidup secara individu yang memiliki pengalaman spiritualnya sendiri. Pertemuan dengan kepercayaan dan konsep nilai spiritual biasanya berubah dan mengalami perkembangan sekaligus degradasi nilai.

Namun, di Minahasa dalam himpitan perkembangan konsep-konsep Agama Timur Tengah, masih ada kepercayaan Malesung. Sebuah kepercayaan orang Minahasa yang berasal dari tradisi yang ketat dan penuh kekayaan pengetahuan. Ini menjadi secercah harapan, seperti oasis di pandang gersang.

Kepercayaan terhadap leluhur, masih dianggap sesuatu hal yang tabuh, bahkan para penganutnya sering tertutup dan tidak mau menampakkan diri ke permukaan. Tapi, berbeda dengan Organisasi Kepercayaan Lalang Rondor Malesung yang disingkat Laroma, yang kini memiliki dokumen-dokumen pengakuan dari negara, serta aktif menjalankan ritual dan ajaran Minahasa luhur ini.

Laroma pengakuan negara terhadap Laroma dibuktikan dari Tanda Inventarisasi Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat, Kementerian Pendidikan, Riset dan Teknologi dengan Nomor 1145/F2/KB.02.03/2021, serta resmi diakui keberadaannya oleh Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Daerah Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara melalui Surat Keterangan Nomor 009/27/Kesbangpolda/XII/2021. Yang juga menjadi bagian dari Majelis Luhur Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (MLKI).

Namun begitu, menurut Iswan Sual selaku Ketua Umum Laroma, Laroma berdiri pada tanggal 17 Februari 2016 dengan pendirinya adalah Frits Sual, Iswan Sual, dan Yanli Sengkey.  Laroma didirikan di Desa Tondei Dua, Kecamatan Motoling Barat, Kabupaten Minahasa Selatan, Provinsi Sulawesi Utara yang dibuktikan dalam Akta Notaris Kenny Robert Calvyn Monintja, S.H., M.Kn. Nomor:  01/19 Oktober 2020. Letak Laroma secara organisasi dekat dengan situs yang memang disakralkan oleh orang Minahasa, yakni Watu Lutau yang berada di Desa Tondei, Kecamatan Motoling.

Watu Lutau, menjadi tempat peribadatan Laroma, serta menjadi titik berangkat untuk melaksanakan ritual khusus maupun pusat sosial dari Komunitas Laroma, seperti refleksi kehidupan lewat nyanyian, sesembahan, dan diskusi serta pengajaran. Watu Lutau sendiri memiliki arti harafiah dalam Bahasa Tontemboan adalah 'Batu Tembak', bentuknya mirip dengan senjata serta memiliki corak atau ukiran membentuk manusia. Watu Lutau adalah Watu Lesung, yang bisa diartikan juga 'Watu La'les ung Kayobaan/Apo Empung/Kasendukan/...dst', -saduran ini dari hasil perjumpaan penulis yang hidup di tanah Minahasa, sering ajaran tua kami, mengajarkan untuk merahasiakan atau tidak mengucapkan sesuatu entitas yang sakral secara sembarangan atau pun serampangan. Sehingga, Watu Lesung patutlah hanya disebut demikian.

Laroma yang berasal dari kata Lalang Rondor Malesung, memiliki arti dalam Bahasa Tontemboan, Jalan Lurus Malesung, yang bisa juga diterjemahkan Jalan Kebenaran Malesung. Yang memiliki arti sebuah ajaran luhur yang harus diikuti oleh generasi baru, dan bagi generasi di atasnya harus menuntun generasi baru sesuai dengan jalan kebenaran leluhur.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun