Mohon tunggu...
Juan Engelbertus
Juan Engelbertus Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Magister Kenotariatan

Penulis merupakan seorang mahasiswa yang menempuh pendidikan magister kenotariatan dengan minat khususnya pada hukum orang, hukum perjanjian, dan ilmu hukum pada umumnya.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Perkawinan Beda Agama: Putusan Mahkamah Agung dalam Sistem Hukum Indonesia

11 Juni 2024   15:01 Diperbarui: 11 Juni 2024   15:11 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Sebagai suatu produk dari interaksi sosial, sudah sewajarnya perkawinan dipengaruhi oleh kondisi masyarakat itu sendiri. Sebuah masyarakat yang sederhana, perkawinannya cenderung bersifat serta sempit atau bahkan tertutup, sebaliknya dalam suatu masyarakat yang kompleks atau modern, perkawinan memiliki sifat yang luas dan terbuka. 

Dengan demografis masyarakat indonesia yang multikultural, terutama dalam hal agama, serta didorong oleh perkembangan teknologi di masa modern ini membuat interaksi dan mobilitas masyarakat semakin mudah, memburamkan sekat-sekat antar masyarakat yang dilatarbelakangi oleh ras, etnis, budaya, dan agama, maka perkawinan beda agama merupakan sesuatu yang sangat mungkin dan seringkali terjadi. 

Dengan 6 agama yang diakui Indonesia, dengan mayoritas penduduk beragama Islam sebanyak 231 juta jiwa (86,8%), Kristen 20 juta jiwa (7,5%), Katholik 8,3 juta jiwa (3,1%), Hindu 4,6 juta jiwa (1,7%), Budha 2 juta jiwa (0,75%), Konghucu 72 ribu jiwa (0,05%), dan Penganut Kepercayaan 112 ribu jiwa (0,04%).

Perkawinan beda agama sendiri sudah menjadi isu hukum yang telah lama ada bahkan semenjak jaman pemerintahan kolonial Hindia Belanda dengan beragamnya etnis dan agama penduduk Indonesia. 

Pemerintahan kolonial pada saat itu menerbitkan peraturan yang mengatur tentang pembagian golongan penduduk dan atas hukum perdata apa mereka harus tunduk, dengan hal tersebut artinya penduduk di Indonesia saat itu juga tunduk pada hukum tentang perkawinan yang berbeda. Sekarang ini permasalahan ini dapat disimpulkan melalui ketentuan Pasal 2 Ayat 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 (UU 1/1974 tentang Perkawinan) yang menyatakan "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masingmasing agamanya dan kepercayaannya itu."

Untuk golongan penduduk Indonesia dibagi menjadi 3 golongan, penduduk Indonesia asli beragama Kristen dan penduduk agama Asli beragama selain Kristen. Mereka yang beragama kristen saat itu tunduk pada HOCI, singkatan dari Huwerlijk Ordanantie Christen Indonesia. 

Sedangkan untuk mereka yang beragama lain berlaku hukum perkawinan menurut hukum adat mereka sendiri, yang dimaksud dalam hukum adat golongan penduduk Indonesia asli ini juga termasuk hukum perkawinan dari agama selain kristen, seperti hukum perkawinan agama Islam dan Hindu, disamping hukum perkawinan dari masyarakatmasyarakat Hukum Adat. Untuk golongan penduduk Timur Asing dalam hal perkawinan berlaku hukum adat mereka sendiri disamping hukum perkawinan yang terdapat untuk golongan eropa. 

Untuk golongan penduduk beretnis arab yang dimaksud sebagai hukum adat mereka sendiri umumnya adalah hukum perkawinan yang bersumber dari hukum Agama Islam atau agama lain semisalnya mereka yang beragama selain Islam. 

Meskipun begitu sebelum disahkannya UU 1/1974 tentang Perkawinan, pengaturan tentang perkawinan beda agama dimuat dalam Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de Gemengde Huwejlijken, staatsblad 1898 No.158) dan juga dalam Huwerlijk Ordanantie Christen Indonesia S. 1933 No. 74 (Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen) atau biasa disingkat HOCI, sehingga tidak menimbulkan permasalahan lebih lanjut.

Perbedaan hukum perkawinan berdasarkan golongan penduduk berakhir pada tahun 1974 dengan disahkannya UU 1/1974 tentang Perkawinan adalah salah satu upaya negara dalam mewujudkan unifikasi hukum nasional. Meskipun begitu upaya pembentukan UU 1/1974 tentang Perkawinan, tidak terlepas dari permasalahan tentang perkawinan beda agama, dalam RUU undang-undang tersebut negara sempat berupaya untuk memberi pengaturan yang jelas mengenai perkawinan beda agama. 

Dalam Pasal 11 Ayat 2 RUU Perkawinan pada waktu itu terdapat Pasal 11 Ayat 2 yang menyatakan bahwa, perbedaan karena suku bangsa, negara asal, tempat asal, agama, kepercayaan, dan keturunan tidak merupakan penghalang perkawinan", namun upaya tersebut mendapat penolakan dari fraksi partai-partai agama Islam di DPR pada waktu itu. Penolakan itu menyebabkan Pasal 11 Ayat 2 dihapus dalam draft final UU 1/1974 tentang Perkawinan,, dan menyebabkan upaya untuk menciptakan suatu peraturan tentang perkawinan yang berlaku secara nasional untuk seluruh warga negara Indonesia pun tergoyahkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun