Dalam bahasan kali ini, kita menyorot gaya pemerintahan Presiden Jokowi setahun ini di periode kedua beliau. Hal menarik diungkapkan Direktur Lingkar Madani Indonesia, Ray Rangkuti menilai Presiden Jokowi cenderung mengadopsi gaya kepemimpinan Soeharto dalam mengelola kekuasaan di periode kedua pemerintahannya.
Yang disorot pertama, target kekuasaan lebih fokus pada pembangunan seperti halnya era orde baru. Kedua, Jokowi menggunakan aparat  menciptakan stabilitas pemerintahan. Alat-alat negara dipakai untuk membungkam suara-suara kritis.
Ketiga, mengakumulasi kekuasaan pada satu tangan. Keempat, menarik investasi yang cenderung mengekplorasi sumber daya alam dilansir dari Tempo.co, 20/10.
Atas kritik dari Ray Rangkuti tersebut, benarkah Presiden Jokowi mengadopsi gaya kepemimpinan Soeharto?. Ini jadi pertanyaan yang tentunya ada pro kontra.
Penulis pribadi melihat, gaya kepemimpinan Presiden Jokowi di periode kedua ini dan satu tahun ini tidak sama dengan kepemimpinan Soeharto masa lalu.
Soeharto dikenal dengan gaya kepemimpinan otoriter dimana kepemimpinannya diatas segala-galanya. Sesuka hatinya dalam memimpin dan banyak lagi. Kalau Jokowi tidak demikian. Tentu Ray Rangkuti melihat demikian tapi itu tidak persis dengan gaya kepemimpinan Soeharto.
Sebab, boleh kita lihat bahwa sebenarnya investasi itu penting agar tercipta kesejahteraan dan perekonomian rakyat dan negara makin baik. Tapi, dengan adanya UU Cipta Kerja atau Omnibus Law membuat banyak pihak berpandangan bahwa investor didewakan karena adanya UU Cipta Kerja tersebut. Inilah yang jadi persoalan bangsa saat ini.
Dan, kita juga belum melihat bagaimana tindakan investor yang sangat mungkin sesuka hati dan hanya memikirkan harta daripada kesejahteraan karyawannya. Patut kita tunggu ke depannya bagaimana pengaruh positif yang diberikan UU Cipta Kerja atau Omnibus Law ini. Kalau tidak ada pengaruh sama sekali, maka sangat pantas bila menggugatnya ke Mahkamah Konstitusi maupun mendorong pemerintah dalam merevisinya.
Terkait dengan banyaknya kejahatan terjadi secara digital dan dijerat pasal dalam UU ITE. Kita harus memaknai secara baik bahwa yang diproses hukum terkait UU ITE adalah mereka-mereka yang melanggar UU ITE tersebut. Ada unsur-unsur pidana didalamnya sehingga patut diproses hukum. Pemerintah juga tidak semena-mena sebenarnya menerapkan UU ITE Tersebut. Kalau salah, ya salah dan benar, ya benar. Begitulah penulis melihatnya dan mungkin juga kita.
Tidak mungkin juga kalau sikap kritis masyarakat maupun oknum-oknum tertentu itu tidak sopan, tidak pakai data dan fakta dalam mengkritik. Tentu itu adalah kesalahan besar yang pantas bila ditindak tegas.