Pilkada Surabaya melahirkan pertanyaan besar tentang hakikat partai politik. Di pilkada Surabaya ada dua paslon atau empat orang yang akan berkontestasi, yakni dua calon walikota dan dua calon wakil walikota. Akan tetapi, hanya satu calon yang merupakan kader tulen partai politik yaitu Armuji.
Sedangkan Eri Cahyadi memang kader PDIP tapi baru saja menjadi anggota karena diusung menjadi calon walikota. Sebelumnya, Eri adalah PNS di Pemkot Surabaya. Lawan mereka Machmudin Arifin-Mujiaman keduanya bukan anggota partai politik yang memakan waktu panjang pengkaderan.
Dari kondisi itulah disebut bahwa para pasangan calon di pilkada Surabaya bukanlah kader tulen dari partai politik. Eri Cahyadi dan Machmudin Arifin-Mujiaman dapat dikatakan masuk partai dan jadikan partai politik hanya kendaraan politik menuju pada keinginan mereka menjadi walikota dan wakil walikota Surabaya dilansir dari CNN Indonesia, 27/9.
Sebab itu, pengkaderan dari partai politik dipertanyakan. Kenapa tidak mendorong kedepan kader tulen mereka yang sudah sangat paham visi misi partai ketimbang kader baru yang masuk parpol hanya karena ingin ikut pilkada.Â
Menurut pakar politik Universitas Airlangga Prof Kacung Marijan bahwa fenomena ini kemunduran partai politik mencetak kader yang menonjol dari aspek elektabilitas dan popularitas dibandingkan tokoh non partai.
Kita tahu bagaimana PDIP misalnya lebih memilih Gibran Rakabuming daripada Achmad Purnomo yang merupakan kader tulen partai dan memilih Eri Cahyadi dari kader tulen PDIP lainnya.
Berarti yang diincar adalah popularitas dan elektabilitas untuk sebuah kemenangan dan kekuasaan. Padahal kader partai politik lebih dekat dan lebih mengerti mengenai visi misi partai tadi.
Memilih yang terbaik
Di satu sisi ada kita lihat partai politik memilih sosok terbaik untuk rakyat. Meski dari luar partai politik lebih baik maka itulah yang dipilih. Akan tetapi, meski demikian, bisakah secepat mungkin partai politik mendidik kader baru tersebut untuk mengikuti visi misi partai?. Itulah hal yang menjadi pertanyaan.
Selanjutnya, meski kader dari luar partai lebih baik, apakah bisa partai politik mendidik agar nanti ketika terpilih tidak melakukan praktik korupsi seperti apa yang kita lihat selama ini? Inilah sesuatu yang menjadi pertanyaan kita.
Bagaimanapun partai politik yang memilih orang lain bukan kader tulen partai maju pilkada harus bisa memperhitungkan segala hal. Lihat integritas dan kapabilitasnya bila sudah menjadi kepala daerah. Jangan hanya melihat popularitas semata karena popularitas juga bisa jadi bencana dimana tersangkut kasus korupsi ketika sudah memimpin.
Parpol harus bisa melihat juga kemampuan kepemimpinan calon yang diusung tersebut apakah bisa diandalkan atau tidak. Bisakah mengikuti suara rakyat dalam proses kepemimpinannya kelak. Itu penting.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H