Begitu indah jika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita banyak orang-orang jujur. Ya, orang-orang jujur itulah yang bisa membangun bangsa dan negara semakin baik dan semakin berkembang kedepannya.
Lihatlah seorang pengemudi ojol di Tasikmalaya, Jawa Barat bernama Ade Alfian Ahmad (47) menjadi perbincangan karena kejujurannya (Kompas.com, 9/7/2020).
Bermula Ade mendapatkan pesanan atas nama Taufik di kecamatan Tawang, Tasikmalaya. Rupanya, Ade diminta mengantarkan istri Taufik ke kantor BJB Singaparna kabupaten Tasikmalaya.Â
Setibanya di lokasi Ade mendapatkan pembayaran tunai dari istri Taufik. Setelah Ade pergi, ia baru menyadari bahwa konsumennya telah membayar secara nontunai.
Karena itu, Ade merasa bersalah lantaran tak teliti sehingga mendatangi rumah konsumen tapi tidak ada orang di rumah. Karena itu, Ade membuat surat permintaan maaf disertai uang kelebihan pembayaran diselipkan dibawah pintu rumah.
Dengan kejadian itu, tentu menjadi pelajaran paling berharga buat kita. Kejujuran Ade itu sangat layak diacungi sepuluh jempol karena ketulusan dan rasa bersalah yang dia rasakan membuatnya harus mengembalikan uang karena kelalaian beliau.
Nah, sekarang sangat relevan kejadian itu kita kaitkan dengan kehidupan kita sehari-hari. Adakah banyak orang seperti Ade?. Jujur saja, tidak banyak pasti kita jumpai orang seperti Ade ini. Bukannya mendiskreditkan ya. Ada kok orang jujur tapi tidak banyak. Andai ada survei orang jujur dan tidak jujur. Keyakinan penulis sih lebih banyak yang tidak jujur.
Coba kita lihat saja dulu kasus-kasus korupsi yang marak saat ini. Baik oknum pejabat negara, kepala daerah, oknum korporasi, masyarakat pun banyak juga yang tertimpa kasus korupsi atau ikut serta dalam korupsi.
Buktinya, KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) sering menindak pelaku korupsi bukan?. Itu bukti nyata yang kita lihat. Belum lagi aksi pungutan liar atau pungli dari oknum tertentu yang banyak juga. Itu bentuk dari ketidakjujuran.
Paling hangat kita lihat bagaimana kasus dugaan korupsi Djoko Tjandra yang hangat diperbincangkan saat ini. Beliau mengajukan Peninjauan Kembali atau PK tapi tak hadir di persidangan. Padahal, pengajuan PK itu aturannya yang mengajukan harus hadir di persidangan.
Belum lagi, paling tajamnya penulis menonton Indonesia Lawyers Club (ILC) seorang narasumber atau pembicara dalam acara mengatakan Djoko Tjandra mempermainkan hukum di Indonesia. Beliau itu tidak menghormati hukum di Indonesia. Harusnya Djoko Tjandra bisa ditangkap sebagaimana Nazaruddin seorang mantan politisi partai Demokrat dijemput dari Bogota Kolombia untuk mempertanggungjawabkan perbuatan korupsinya.