Pilkada tahun 2020 ini seharusnya digelar bulan September dan harus diundur ke bulan Desember. Hal itu karena Pandemi Covid-19 yang belum juga sirna dari bumi Pertiwi.
Pandemi ini tentu sangat mengganggu gelaran pilkada yang sejak jauh-jauh hari sudah direncanakan kapan proses pendaftaran, kapan berkampanye dan kapan diselenggarakan pemungutan suara dan penghitungan suara.
Dengan adanya Pandemi, maka alur jalannya proses politik pilkada harus diubah lagi untuk dijadwal ulang kembali.
Namun, menariknya, ada tanggapan bahwa pilkada di tengah Pandemi akan menimbulkan oligarki baru.
Dilansir dari beritasatu.com, 5/6/2020, "Demokrasi lokal di tengah Pandemi bisa munculkan oligarki baru. Potensi-potensi penggunaan kekuasaan yang dilakukan kontestan petahana sangat tinggi. Negara melalui Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) punya tugas tidak mudah mengawasi ini," kata Wempy Hadir, Direktur Eksekutif Indopolling Network.
Maksudnya, akan ada yang diuntungkan di pilkada di tengah Pandemi. Meski diundur di bulan Desember, namun sampai saat ini penyebaran virus Corona masih terjadi.
Hal ini diduga akan menguntungkan bagi petahana. Apalagi petahana yang masih ikut mencalonkan diri sebagai kandidat Walikota/Bupati maupun Gubernur.
Bayangkan saja, di tengah Pandemi, banyak sekali bansos yang diberikan kepada masyarakat. Hal itu bisa dijadikan momen terbaik oleh petahana untuk berkampanye senyap atau terselubung mencuri hati rakyat agar memilihnya kembali.
Menggunakan bansos sebagai alat penaik elektabilitas dan popularitas si calon petahana tersebut.
Contoh saja, bagaimana waktu lalu Bupati Klaten memampangkan wajahnya di hand sanitizer. Itu tentu sangat menguntungkan bukan?.
Belum lagi, dana bansos di daerah diserahkan kepada kepala daerah setempat pembagiannya. Bisa jadi dana itu diselewengkan untuk kepentingan kampanye.
Ini berbahaya sekali. Itulah oligarki baru yang harus dicegah.Â
Tidak ada kata lain, peran Bawaslu sangat penting dalam mencegah adanya politik transaksional dan politik terselubung. Masyarakat juga harus membantu dan bergerak memberi informasi, manatau ditemukan petahana yang memainkan politik transaksional dan politik terselubung tersebut.
Tentu, sulit untuk mengidentifikasi mana calon yang bermain politik transaksional di tengah Pandemi ini. Oleh karena itu, Bawaslu harus dibantu oleh masyarakat.
Tidak tahu juga apakah Bawaslu sudah bisa bergerak lebih awal saat ini mencegah kecurangan pilkada terjadi. Dikarenakan pendaftaran bakal calon belum dibuka.
Ini jadi masalah juga andai Bawaslu belum punya kewenangan mencegah terjadinya politik transaksional dan politik terselubung karena belum ada pendaftaran calon.
Oleh karena itu, rakyat Indonesia dan keteladanan para petahana sangat penting. Untuk bertarung secara sportif atau jujur, harusnya petahana tidak curi start.
Butuh keteladanan juga dari seorang pemimpin untuk itu. Kalau tidak, akan dihalalkan segala cara demi sebuah kemenangan.
Mengundur lagi tahapan pilkada?
Kalau mengundur lagi tahapan pilkada, misal ke 2021, tentu bisa-bisa saja agar waktu lebih lama untuk berkampanye dan Pandemi berangsur-angsur baik atau normal.
Akan tetapi, dalam sebuah pemberitaan Menkopolhukam Mahfud MDÂ mengatakan pilkada tak akan diundur ke 2021.
Itu artinya tinggal 5 bulan lagi dari bulan Juni menuju Desember tahapan pilkada. Itu sebenarnya sangat singkat sekali. Kita tahu belum ada pembukaan tahapan pendaftaran pilkada.
Itu artinya, para calon yang akan bertarung akan mengejar waktu singkat untuk bisa memenangkan pertarungan politik.
Kalau demikian, yang diuntungkan adalah petahana yang sudah lebih dulu menjabat di tengah Pandemi dan bisa menimbulkan oligarki baru seperti kata pengamat politik tadi.
Semoga saja ada solusi dan titik terang dari semua ini agar pilkada bisa berjalan baik, lancar, hikmat dan tidak bermasalah.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI