Pada 2014 lalu Tri Rismaharini pernah mendapatkan penghargaan bergengsi dari London Summit Leaders dalam kategori Innovative City of the Future. Saat itu Surabaya jadi satu-satunya kota perwakilan dari Indonesia.
Banyak lagi keberhasilan dari Bu Risma. Begitu juga Bu Khofifah yang sebelumnya menjadi Menteri Sosial sebelum jadi Gubernur Jawa Timur juga memiliki track record yang baik.
Jadi, wajar-wajar saja ada rivalitas politik, apalagi keduanya dapat dijadikan sebagai pemimpin Indonesia kedepannya.
Namun, benar bahwa kasihan juga Bu Risma yang sudah memesan terlebih dahulu tes PCR tapi harus dialihkan ke Lamongan dan Tulungagung.
Padahal, yang memesan pertama adalah Bu Risma, mungkin karena jabatan Bu Khofifah adalah Gubernur jadi pihak terkait yang membawa mobil PCR maupun pihak terkait lain mau-mau saja diperintah oleh atasannya. Ya, bisa-bisa saja demikian. Namanya pimpinan akan diikuti oleh bawahan.
Selain sebuah rivalitas politik, penulis juga mencermati bahwa sosok pengalihan mobil PCR tersebut bukan semata-mata untuk kepentingan pribadi Gubernur Jawa Timur, tetapi juga untuk kepentingan masyarakat Jawa Timur pada umumnya.
Tidak salah juga kalau apa yang dilakukan oleh pihak Pemprov Jatim tersebut, asal demi kepentingan orang banyak. Masyarakat pada umumnya harus menjadi pokok utama untuk diperhatikan daripada diri sendiri sekalipun.
Seorang pemimpin memang berjuang demi kepentingan rakyat. Ketika rakyat terdampak Pandemi, maka pemimpin garda terdepan untuk mencegah dan mengobati masyarakat.
Meski, kita akui juga kasihan Bu Risma yang ingin membantu masyarakat Surabaya terlepas Pandemi dengan pengiriman mobil PCR tetapi harus dialihkan.
Seharusnya, biarkan terlebih dahulu walikota Surabaya menggunakan tes PCR dari BNPB itu terlebih dahulu, ketika selesai maka dikirimkan ke daerah lain.
Tak perlu juga ada ego sektoral yang membuat para pemimpin daerah berpolemik. Itu tak baik untuk masyarakat dan citra para pemimpin tersebut.