Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) memang termasuk sering terjadi di Indonesia maupun di dunia. Pasalnya, Â dalam menjalin sebuah bahtera rumah tangga tidak ada kata mulus-mulus saja.
Dari pengamatan saya di keluarga, tetangga maupun dari beberapa narasumber yang ada di televisi saya saksikan, mereka mengatakan menjalin rumah tangga tidak ada kata mulus.
Akan ada beda pendapat, cekcok dan ketidakakuran. Hal itu terlihat dari kasus perceraian dan KDRT dari beberapa survei membuktikannya.
Akan tetapi, meski terjadi beda pendapat, cekcok atau masalah di keluarga, maunya tetap menggunakan pikiran dingin tidak memakai fisik atau kekerasan.
Semua bisa diselesaikan dengan diskusi, dengan damai dan memakai kata-kata yang baik, tidak bersuara keras dan lain sebagainya.
Dilansir dari VOA 5/4/2020), sebagaimana dilansir kompas.com, Sekjen PBB Antonio Guterres menyatakan bahwa meningkatnya tekanan sosial dan ekonomi akibat Pandemi virus Corona telah menyebabkan KDRT pada wanita dan anak-anak perempuan. Guterres mengatakan, "Maka, hari ini saya membuat seruan baru untuk perdamaian di seluruh rumah di dunia.
Di Perancis, kasus KDRT meningkat hingga sepertiga dalam satu minggu. Sementara Afrika Selatan bahwa otoritas setempat menerima setidaknya 90.000 pengaduan KDRT terhadap wanita pada minggu pertama diberlakukan pembatasan wilayah.
Sedangkan di Indonesia belum didapatkan data berapa banyak kasus KDRT terjadi selama Pandemi ini. Dari rilis resmi website Komnas Perempuan, Komnas Perempuan melakukan beberapa kebijakan untuk mengurangi interaksi sosial dalam kegiatan.
PENGARUH EKONOMI
Mencermati kasus KDRT di dunia tersebut, memang hal utama penyebabnya adalah pengaruh ekonomi keluarga karena banyaknya PHK (Pemutusan Hubungan Kerja), sehingga ekonomi keluarga melonjak turun yang mengakibatkan tidak ada dana menyambung hidup.
Terutama kepada suami-suami yang merupakan kepala keluarga, ketika di PHK, maka sang istri tidak mendapatkan uang membeli kebutuhan sehari-hari. Hal itu akan membuat si istri menagih-nagih kepada suami, bahkan semakin cerewet dan marah-marah. Tindakan itulah yang memicu emosi sang suami ditambah stress akibat di PHK di masa Pandemi Covid-19 ini.
Hingga akhirnya tanpa disadari sang suami akan menggunakan kekerasan dengan memukul istri akibat terus ditagih biaya kebutuhan. Bahkan lebih parah lagi, tak menutup kemungkinan akan terjadi pembunuhan.
Itulah yang saya pribadi cermati mengapa tingginya tingkat KDRT di dunia. Bahkan tidak hanya di masa Pandemi ini saja, di hari-hari biasa pun KDRT masih mungkin terjadi.
Bisa jadi karena penghasilan sang suami tidak sebanding dengan pendapatan, sehingga suami dan istri berselisih soal itu.
Masalah ekonomi keluarga ini bagi saya paling banyak memicu terjadinya KDRT dan perceraian. Masalah ekonomi paling sering kita jumpai dengan melihat tingkat kemiskinan juga tinggi.
Oleh karena itu, sekarang mencari cara bagaimana agar ekonomi keluarga tetap berjalan di tengah Pandemi Covid 19 atau Corona ini.
Bisa dengan bantuan tunai pemerintah atau barangkali mencari pekerjaan lain yang bisa menutupi biaya hidup.
Beginilah nasib getir keluarga dengan adanya Pandemi ini. Ruang gerak dipersempit dan  tak bisa berbuat apa-apa. Sama-sama berdoa saja kiranya Pandemi ini segera berakhir dan aktivitas ekonomi masyarakat kembali normal seperti biasa.
Semua negara sudah merasakan sakitnya, bosannya dan tidak enaknya penyakit yang mengglobal ini. Hanya bisa pasrah dan berdoa saja. Segala masalah yang diakibatkan Covid-19 secepatnya berakhir karena itulah seruan kita bersama, bersatu dan sepemikiran agar segala masalah yang ditimbulkannya semakin minim.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H