Pelajaran berharga bagi kita dan bagi para politisi kita yang suka memainkan spekulasi dan penafsiran seenaknya saja. Hal itu akan membuat kita terkena imbasnya. Sebagaimana ungkapan ataupun pernyataan Prabowo saat menyatakan rezim Jokowi Neo-Orde Baru dengan mengutip kandidat doktor dari Australian National University, Tom Power. Â Akibat dari pernyataan itu, akhirnya Prabowo harus menerima bahwa Tom Power membantah analisanya dipakai dalam kasus Pilpres di MK.
Sebagaimana dikutip dari detik.com 13/6/2019, bahwa Prabowo menggunakan artikel dari Tom Power di jurnal BIES 2018 dalam konteks yang tidak lengkap. Tom tidak menyebut indikasi kecurangan pemilu yang berlangsung April lalu, sebab artikel ditulis 6 bulan sebelum pesta demokrasi Indonesia berlangsung.
Lalu, penelitiannya memang menunjukkan adanya indikasi bahwa pemerintahan Jokowi menunjukkan sikap anti demokrasi, tetapi tidak menyebut pemerintahan Jokowi adalah rezim otoriter. Ketiga, bahwa Tom tidak mengatakan bahwa kualitas demokrasi akan lebih baik kalau Prabowo jadi presiden.
Jelaslah, ini bantahan yang tegas dan juga diungkapkan secara langsung dan dapat dipertangungjawabkan. Dari apa yang diklarifikasi tersebut membuat tafsiran dari Prabowo maupun tim terlalu berlebihan. Cenderung menggunakan pendapat orang lain untuk kepentingan Pilpres semata. Ingin membangun opini publik secara masif agar melihat pemerintahan sekarang adalah otoriter.
Bagi saya, ini tidak layak dilakukan. Ini adalah bentuk serangan ringan untuk menyudutkan pihak lain. Kalau mengutip, sebaiknya bukan untuk kepentingan gugatan maupun serangan semata. Tidak memainkan opini dalam artikel digabungkan dengan opini kita. Salah tafsir seperti itu berbahaya bagi demokrasi dan keutuhan negara kita. Jika mau mengetahui lebih jelas tentang artikel dari Tom Power, maka bisa bertanya langsung maksud dari artikel itu agar bisa dipertanggungjawabkan.
Kalau begini kan rakyat semakin tahu bahwa ada salah tafsir dari artikel Tom Power. Sekaligus bisa jadi ini semakin viral di hadapan masyarakat ataupun warganet dan menyerang pihak Prabowo dengan berbagai nyinyiran dan juga cacian. Yang terjadi, kasihan tim Prabowo-Sandi. Kita memasuki lagi masa perdebatan sengit, padahal sebenarnya semua sudah selesai.
Untuk kita semua, hal ini dapat menjadi pelajaran berharga buat kita untuk berhati-hati dalam membuat pernyataan. Takutnya, itu akan melukai hati orang lain dan menimbulkan pertengkaran hebat. Akhirnya, kita tak akur lagi dan bermusuhan. Karena itulah, politik tidak bisa dicampur-adukkan dengan hukum. Politik hukum dapat dicampur-adukkan ketika proses pembuatan peraturan dan Undang-Undang oleh DPR dan Presiden, dimana disitu anggota DPR berasal dari partai yang berbeda, sehingga memainkan politik hukum.
Namun, dalam gugatan MK tidak diperkenankan membawa-bawa kasus sengketa dalam bidang politik. Artikel pun dijadikan dalil untuk menggugat, padahal adanya salah tafsir di sana.
Klarifikasi dari Tom Power ini tentu menjadi pukulan telak bagi tim Prabowo-Sandi yang telah mengutip dengan salah tafsir. Terlalu "lebay" (kata anak zaman sekarang) atau berlebihan dalam menafsirkan sesuatu hal. Karya ilmiah dalam sebuah artikel didramatisir sedemikian rupa untuk menimbulkan opini publik bahwa itu adalah sebuah kebenaran.
Yang susah akhirnya kita-kita juga. Rakyat ter-doktrin dengan pernyataan Prabowo itu. Tetapi, ketika sudah diklarifikasi, akhirnya rakyat sadar bahwa itu sebuah kesalahan besar.
Semoga hal ini tidak terjadi lagi. Boleh mengutip pernyataan dari para sarjana, ahli, guru besar yang ada di dunia, namun tetap mengutip secara utuh dan tidak mendramatisir kutipan menjadi kesannya begitu mewah dan dahsyat. Akhirnya, ketika penulis artikel tidak terima artikelnya didramatisir, membuatnya kesal dan kecewa.
Semoga ini menjadi kritikan sehat buat kita dan politisi.
Salam Kompasianer!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H