Selama ini kita melihat bagaimana koalisi di BPN Prabowo-Sandi, dimana ada partai Gerindra, Demokrat, PKS dan PAN dalam koalisi, namun tidak berjalan akur. Dalam tulisan sebelumnya, saya sudah menguraikan bahwa ketidak-akuran itu terlihat saat Prabowo-Sandi berkampanye, dimana partai Demokrat yang dipimpin oleh Komandan Kogasma Agus Harimurti Yudhoyono tidak ikut.
Hal ini menerangkan bahwa tidak ada namanya kesetiaan atau loyalitas dan condong politik setengah hati. Belum lagi kader-kader Demokrat banyak beralih dukungan ke Jokowi-Ma'ruf Amin.
Semakin diperjelas juga oleh Kadiv Advokasi dan Hukum DPP Partai Demokrat, Ferdinand Hutahaean "Hubungan antara Partai Demokrat dengan Koalisi 02 memang agak terganggu terutama pasca hari-hari terakhir, Bu Ani pun menjadi korban, dirundung oleh pendukung 02 dan terakhir juga apa yang terjadi di Cikeas, saat Prabowo bertemu dengan Pak SBY (Susilo Bambang Yudhoyono), mengucapkan belasungkawa tapi akhirnya menjadi politik, mengotori suasana duka dan itu tentunya akan membuat suasana tak nyaman," (detik.com 8/6/2019).
Semakin jelaslah bahwa serangan-serangan antar koalisi selama ini sudah membuat renggang hubungan koalisi BPN Prabowo-Sandi. Ditambah lagi, adanya kunjungan petinggi partai dengan Pak Jokowi semakin memperjelas hal tersebut.
Dari keterangan Ferdinand, maka sudah terjawab pertanyaan masyarakat mengenai kesolidan koalisi mereka. Ternyata sudah jelas Demokrat dengan BPN sudah tidak akur dan sudah terpecah. Karena itu, Demokrat juga sudah bebas mau condong dan masuk ke pihak yang mana. Tidak ada lagi istilah menjaga etika politik koalisi karena sudah jelas tidak lagi berkoalisi.
Setengah hati
 Kalau setiap pekerjaan yang dilaksanakan dengan setengah hati, maka hasilnya pun tidak akan bagus. Lihatlah koalisi BPN yang berekspektasi mau menang di pemilu, ternyata tidak menang juga.
Menurut keterangan dari politisi partai Demokrat bahwa Prabowo tidak mau mendengarkan saran dari Demokrat, sehingga harus kalah. Bagi saya bukan itu saja. Demokrat juga terlihat setengah hati juga dalam berkoalisi sejak awal.
Masih ada keinginan mau masuk koalisi sebelah, tetapi karena tidak ada hubungan harmonis membuat gagal masuk koalisi TKN.
Sedari awal, jika tidak sepenuh hati berkoalisi, maka hasilnya seperti ini. Koalisi tidak solid hingga akhirnya pecah dan yang diusung juga tidak menang.
Untuk meraih kekuasaan harus ada perjuangan sepenuh hati. Tidak ada kemenangan tercapai kalau tidak dengan perjuangan. Tentu itu mustahil. Makanya, sedari awal perlu komitmen dan kerja keras yang kuat untuk menang.
Kalau seperti koalisi di BPN saat ini sudah saling serang semakin menegaskan bahwa mereka tidak lagi satu hati. Tidak lagi sepaham dan sepikiran.
Semua itu karena politik setengah hati tadi, jadi inilah dampak buruknya. Meskipun begitu, kita berharap, meski tidak berkoalisi lagi, Demokrat dan partai yang ada di BPN tidak saling serang.
Memainkan 'Buzzer' untuk melumpuhkan partai tertentu. Hal itu pastinya tidak sesuai cita-cita kita bahwa partai politik harus membina dan mengedukasi rakyat dengan politik cerdas dan santun. Tidak saling serang dan merendahkan.Â
 Tawaran
 Terkait merasa tidak berkoalisi lagi, maka Demokrat dengan gampang menerima timangan atau ajakan dari TKN Jokowi-Ma'ruf Amin untuk masuk koalisi. Kita ketahui, ada tawaran kepada Demokrat untuk masuk koalisi TKN. Dengan tidak berkoalisi dengan BPN, maka gampang saja menerima tawaran tersebut.
Lumayan juga bila diberi satu atau dua kursi menteri. Dengan begitu, partai Demokrat akan mengusung kadernya yang berkualitas dan berdampak pula pada elektabilitas partai lima tahun lagi.
Beginilah politik, yang gampang untuk menerima, kalau itu menyenangkan dan menguntungkan. Tetapi kita lihat saja ya kawan, apakah Pak Jokowi akan memberikan tempat ke partai Demokrat masuk koalisi dan kabinet. Kalau diberikan ruang untuk masuk, ya syukur kepada Tuhan. Kalaupun tidak, ya itu konsekuensi karena sejak awal tidak berkoalisi.
Salam Kompasianer!!