"Tak perlu panik dengan gosip bersegeralah introspeksi diri."
Manusia adalah makhluk multidimensional. Ada bagian yang bisa dilihat dan dijamah. Ada bagian yang tidak kelihatan, namun itulah sesungguhnya yang mengendalikan yang bisa dilihat dan bisa dijamah tadi.
Yang tidak kelihatan dalam diri manusia pun, juga bisa bertentangan antara yang satu dengan yang lainnya dalam mengambil suatu keputusan. Saat lampu lalu lintas warna merah, hati akan berkata kepada tubuh, "Cepat injak rem." Tapi pikiran bisa berkata beda, "Mumpung tidak ada polisi. Tidak perlu injak rem."
Memang begitu sulit untuk bisa memahami jatidiri seseorang. Namun demikian, bukan berarti tidak bisa menilai perilaku seseorang, yang bisa mendekati kebenaran sesuai dengan yang dipikirkannya.
Dalam menilai inilah, maka setiap kita pasti ingin menilai yang lain. Jika kita tidak ingin menilai orang lain, maka orang lain akan menilai kita. Manusia tidak mungkin bebas nilai. Sebagai makhluk sosial tidak bisa hidup menyendiri.
Para Kompasianer juga dinilai karyanya, melalui artikel yang diterbitkannya ini. Sehingga saat ada yang membaca, jika hatinya tergerak, maka akan mencentang satu pilihan untuk memberi nilai atas artikel itu. Meski makna tergerak ini, kadang bukan obyektif karena artikel itu, melainkan lebih bersifat persahabatan atau sungkanisme, karena artikelnya lebih dulu sudah diberi nilai.
Selanjutnya, setelah kita membaca karya tulisnya itu, maka kita bisa menilai pula kepribadian sang penulisnya secara tidak langsung. Bisa terbaca karakter dan kesukaannya.
Ada yang tipe koleris, flegmatis, melankolis dan sanguinis. Ada yang senang menulis dengan isu-isu teosentris, antroposentris dan sosiosentris.
(Semoga istilah-istilah ini bisa dipahami, kalau perlu tanya Lord Google. Kalau saya jelaskan satu persatu akan menjadi panjang dan bisa jadi artikel baru lagi).
Gosip
Gosip, makin digosok makin sip, merupakan berita atau info yang telah menyebar, namun belum tentu atau tidak berdasar pada fakta atau kenyataan.