Mohon tunggu...
Juanda
Juanda Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer Taruna

$alam Hati Gembira ...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

4 Cara Hindari Jebakan

19 Juni 2019   07:40 Diperbarui: 19 Juni 2019   07:46 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
partners4prosperity.com

"Adalah beda tipis untuk membedakan, apakah sedang dijebak atau terjebak atau menjebakkan diri?"

Sejak lulus SMP saya memutuskan untuk kerja pagi hari dan SMA pada malam hari. Kemudian waktu kuliah juga ambil yang malam hari, lalu saya ingin belajar menjual asuransi, yang saat itu lagi booming. Karena tidak punya pengalaman sales atau marketing, maka saya membeli beberapa buku tentang hal itu.

Waktu itu hampir semua buku atau bacaan yang terkait marketing saya lahap. Namun hampir tidak ada hasil, meski saya telah menerapkan aneka teori yang ada diberbagai bacaan tersebut. Hingga suatu hari, saat berkumpul dengan beberapa teman marketing, lalu saling curhat masalah pemasaran.

Dalam selingan pembicaraan itu, tiba-tiba seseorang berkata, "Coba baca buku-buku marketing yang ada, penulisnya pasti bukan seorang marketer. Kalau bukan dosen yach guru." Kemudian saya pulang dan melihat CV penulis, yang dulu biasa tercetak di halaman belakang paling bawah. Dan tidak salah apa yang dikatakan oleh teman itu.

Pemasaran Menarik

Hari-hari ini, ada cara pemasaran yang menarik. 'Beli rumah tanpa hutang atau beli rumah tanpa modal malah dapat uang.' Lalu seorang teman pernah ikut seminar gratisnya sehari. Dapat suguhan minuman dan makanan kecil. Saya tanya, "Apa yang didapat? Gimana caranya? Beritahu dong?"

Lalu teman saya dengan wajah seperti pepaya jatuh dari lantai 3 dan berkata, "Ga dapat apa-apa. Hanya dimotivasi, supaya bisa jadi seorang yang sukses. Tapi ujung-ujungnya secara halus ditawari untuk ikut sesi yang kedua dan ketiga yang harus bayar jutaan. Baru di sana akan dibuka rahasianya." Capek deh.

Kisah kedua tentang teman yang lain mau belajar saham dengan iming-iming dengan modal di bawah 1 juta akan berlipat 10 kali dalam sebulan. Seminar sih free dan di hotel lagi. Dapat minuman dan makanan kecil pula. Kemudian saya tanya, "Apa yang didapat?" "Ga ada apa-apa. Diberitahu caranya tapi ga semua. Nanti ikut yang lanjutan dengan bayar sekian juga baru diberitahu lagi."

Dengan dua kisah itu, ada yang menggelitik dari pikiran saya. Kalau memang bisa untung besar, mengapa rahasianya diberitahuan secara terstruktur, sistematis dan masif (TSM). Ya, jika dikerjain sendiri kan lebih maknyus. Masak kalah sama bakul bakso yang tahu tempat yang ramai pembeli, maka akan mengusir saingannya yang berjualan di sekitarnya.

Seperti juga orang yang senang pergi ke 'orang pintar', supaya bisa cepat kaya raya. Ingat kisah tentang Dimas Kanjeng Taat Pribadi yang piawai menggandakan uang. Yang menyedihkan ada seorang yang bergelar Doktor dengan jabatan begitu penting dari Jakarta, ternyata mau juga ke Probolinggo untuk menjumpainya.

Logisnya kalau memang bisa menggandakan uang, kenapa kok bukan uangnya sendiri saja yang digandakan dan digandakan? Lalu ada seorang teman yang berkata, "Menurut ilmunya, memang harus uangnya orang lain. Bisa membantu yang lain itu ada pahalanya." Keren juga yach, alasannya ... .

Yang lebih menyedihkan ternyata dalam dunia keagamaan, teknik marketing seperti ini juga dilakukan. Ada seorang yang berkisah telah mengikuti apa saja yang diajarkan, bahkan telah mengeluarkan uang yang begitu banyak, namun apa yang diharapkan tidak kunjung tiba, bahkan terjerumus kepada ajaran tertentu yang secara umum dianggap menyimpang.

Mudah Terjebak

Ada 4 hal yang membuat kita gampang sekali terjebak dalam rencana seseorang yang memanfaatkan kita, yaitu:

1. Kurang Pengalaman. Ada istilah bahwa pengalaman adalah guru yang terbaik. Melalui pengalaman kita bisa mempelajari banyak hal. Orang yang telah berpengalaman menikah akan tahun betapa beratnya merawat pernikahan, dibanding pendapat orang yang baru berencana untuk menikah, meski dengan aneka pengetahuan yng dimilikinya.

Oleh sebab itu nikmati pengalaman demi pengalaman yang ada. Tidak perlu cepat berkeluh-kesah, ketika menghadapi hambatan demi hambatan yang menerpa. Petik hikmahnya saja. Pelajaran apa yang yang didapat? Itulah modal menjadi seorang yang bijak. Jangan jatuh pada kubangan yang sama.

2. Kurang Pengetahuan. Pengetahuan bisa didapat secara formal dan informal. Dengan belajar atau bersekolah akan mendapatkan aneka pengetahuan. Melalui pengalaman kehidupan juga bisa mendapatkan pengetahuan.

Sebuah ungkapan 3000 tahun yang lalu berkata, "Siapa mencintai didikan, mencintai pengetahuan; tetapi siapa membenci teguran, adalah bodoh." Oleh sebab itu, tetaplah belajar dan belajar ketika kesempatan masih ada. Tetap membaca dan membaca selama masih bisa melihat.

3. Kurang Teman. Ada orang yang memiliki pengalaman dan pengetahuan begitu banyak, namun kalau kurang memiliki teman mudah sekali terjebak. Contoh-contoh di atas telah menjelaskan, bukan? Melalui teman akan mendapat info terkini tentang apa yang sedang terjadi.

Namun tetap perlu berhati-hati dalam berteman. Mengapa? Ada teman yang mendatangkan kecelakaan, tetapi ada juga sahabat yang lebih karib dari pada seorang saudara. Dalam berteman pun tidak bisa langsung percaya dan menelan mentah-mentah pendapatnya. Dengan pengalaman dan pengetahuan yang dimilikinya, bisa menjadi filter pula untuk memilah dan memilih.

4. Kurang Tanya. Jikalau sering bertanya akan kelihatan kapasitas kita. Namun ada waktunya tetap perlu bertanya, maka perlu bertanya. Terkadang sudah tidak tahu, tapi merasa tahu (kemeruh) atau sok tahu. Ini akan menjebak pula dalam ketidaktahuan, namun perlu memutuskan sebuah keputusan. Berbahaya bukan?

Meski kita banyak pengalaman dan pengetahuan, namun banyak yang kita tidak tahu. Karena kita bukan mahatahu. Oleh sebab itu dengan bertanya adalah jalan keluarnya. Namun belajar bertanya yang berbobot tentunya.

Saat artikel ini ditulis, sidang MK sengketa Pilpres 2019 sedang berlangsung. Kita seharusnya percaya dengan ikhlas kepada para Hakim yang bertugas. Namun Hakim yang adalah manusia biasa, juga bisa dijebak atau terjebak atau menjebakkan diri. 

Tak ada yang bisa kita lakukan, sebagai umat ber-Tuhan hanya berdoa, kiranya hati nurani bekerja maksimal saat menelorkan sebuah keputusan. Eleng, Gusti mboten sare.-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun