Mohon tunggu...
Juanda
Juanda Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer Taruna

$alam Hati Gembira ...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jujur ..., Mahalnya Jujur

2 Mei 2019   17:00 Diperbarui: 3 Mei 2019   00:47 374
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

- Jujur jadi hancur - Jujur jadi bubur - Jujur jadi lebur -

Sempat bangga pula awalnya kepada beberapa akademisi yang kemudian terjun ke dunia politik menjadi berubah karakternya. Integritasnya telah sirna demi harta dan takhta kayaknya. Apakah filter kejujurannya telah jebol, karena diterpa terus-menerus oleh tawaran yang menggiurkan ini?

Beberapa orang seniman, baik sebagai seorang aktor, aktris, artis, selebritis atau apa pun namanya, awalnya ingin mengekploitasi kreativitas dirinya (baik yang bersifat gifted atau talented), namun akhirnya terjebak tawaran yang bukan dari dunianya itu, akhirnya ada yang berujung di lembaga pemasyarakatan.

Rejeki dari Sang Pencipta itu sudah tersedia dengan adil sesuai dengan bagiannya masing-masing. Namun sungguh untuk bisa hidup dan menghidupi panggilannya masing-masing itu begitu sulit. Ada banyak tawaran yang membuatnya pindah ke lain profesi dengan aneka iming-iming. Jika tidak bisa menahan diri, maka akan terjebak menjadi pribadi yang lain, yang akan penuh dengan topeng di sana-sini.

Awal ketidakjujuran adalah ketika tidak bisa menerima diri apa adanya. Penuh dengan polesan, demi untuk menyenangkan pihak lain. Tak ayal lagi, maka segala cara akan dilakukannya dengan tujuan asal visi, misi, target atau apa pun namanya harus terealisasi.

Sungguh disayangkan hal ini telah dialami sejak masa anak-anak. Orangtua telah mengajari anaknya untuk mengatakan yang tidak jujur, kalau ada yang mencari mereka. Ada seorang ibu yang menyuruh anaknya untuk berbohong kepada ayahnya, demi untuk bisa mendapatkan kucuran uang dari kantong ayahnya, yang lebih banyak dari biasanya.

Pasangan suami-istri pun seringkali bersandiwara untuk membangun relasinya. Seorang suami berkata, "Istri saya itu aneh orangnya. Kalau saya berkata yang jujur, malah ngamuk. Kalau dipuji-puji, padahal tidak begitu aslinya, malah bahagia." Istrinya menimpali, "Sama juga. Kalau saya bilang kondisi saya yang sesungguhnya, suami saya marah-marah. Emangnya istri itu cuma ngurus suami aja di rumah. Kan ada capeknya?"

Yang begitu menggelikan, ketika untuk ambil kredit rumah lalu kreditur menginfokan laporan keuangannya dengan jujur, namun malah disarankan untuk digelembungkan. Demikian pula untuk mengurus kartu kredit, perlu diawali memiliki laporan pendapatan yang bisa tidak jujur.

Banyak sekali sekolah atau kampus yang memberikan keringanan atau beasiswa kepada para peserta didik dengan syarat tertentu pula. Namun hal ini malah dimanfaatkan oleh mereka yang mampu secara keuangan, namun dengan tidak jujur mengatakan kondisi keuangannya begitu parah.

Untuk menjadi pribadi yang jujur itu, tidak ada sekolahnya secara khusus. Meski setia beribadah dan pandai menceramahi orang lain, namun kejujuran tidak ada kaitannya dengan itu pula (meski dikait-kaitkan juga bisa sih). Mengapa? Karena untuk menjadi jujur, itu bukan terkait beragama atau tidak dan berpendidikan atau tidak.

Untuk menjadi pribadi yang jujur itu tergantung keputusan. Tidak tergantung situasi atau kondisi tertentu. Makanya makhluk jenis ini akan langka adanya. Kalau pun ada, akan banyak yang ngeledek, nge-bully, menyingkirkan, memusuhinya, bahkan kalau perlu melenyapkannya dari muka bumi ini.-

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun