"Dalam ketenangan ada peperangan. Dalam peperangan ada ketenangan. Lalu, di manakah sumber ketenangan itu?"
Â
Ada ungkapan yang berkata, "Jangan tergesa-gesa untuk memutuskan sesuatu hal, jikalau dalam situasi dan kondisi yang tidak tenang." Itulah sebabnya ada beberapa peristiwa dengan jadwal tenang yang telah ditata, seperti: 1) Minggu tenang menuju ujian sekolah atau kuliah, 2)Â Hari tenang menuju pelaminan, 3)Â Masa tenang menuju pencoblosan.
Apakah benar dengan keberadaan jadwal tenang ini, maka akan membuat mereka yang ambil bagian dalam kesempatan itu juga menjadi lebih tenang? Atau sebaliknya malah lebih sibuk untuk aneka persiapan demi persiapan menjelang menghadapi sebuah perhelatan yang menentukan?
Di sisi lain, juga dibutuhkan sebuah ketenangan, yang kadang dikomando oleh seseorang, seperti ketika: 1) Mendapat kabar buruk, 2) Mengalami malapetaka, 3) Mendapat kabar hoaks, 4) Mengalami resesi ekonomi, 5) Mendapat kabar tanpa kepastian.
Dalam hal yang ini, ketenangan memang justru perlu benar-benar dimiliki. Jikalau tidak akan menimbulkan kepanikan tersendiri, hingga bisa menular ke pihak lain yang sedang tidak tenang menghadapi hidup ini.
 Artikel ini ditulis setelah debat kelima calon Presiden dan Wakil Presiden 2019, yang telah masuk masa tenang. Apakah benar-benar masa tenang? "Tenang sejati hanya ada di kuburan," kata salah seorang karyawan sukarela sebuah partai. "Dan pada orang tidak suka berpikir," lanjut temannya.Â
Dan terbukti masih ada yang kampanye dengan teknik tertentu melalui media sosial, bahkan ada yang kirim surat ke rumah-rumah. Belum lagi yang dibungkus dengan acara yang sifatnya keagamaan. Kreativitas memang sulit untuk dicegah, sepertinya. Namun yang terlalu mencolok memang telah tiada.
Masa tenang, mestinya jadi ajang tengok diri, apakah yang sedang dikerjakan ini memuliakan Sang Pencipta atau tidak? Bermanfaat untuk sesama atau tidak? Atau hanya untuk memuaskan hawa nafsu pribadi, namun dengan mengatasnamakan kepentingan rakyat banyak.Â
Mengingat perang terbesar yang ada, itu terjadi di dalam diri kita masing-masing. Apa yang sedang kita cari sesungguhnya? Padahal kita sama-sama sedang menantikan jadwal mati saja, bukan?
Oleh sebab itu, perlu menyiapkan mental juga, untuk menerima kenyataan antara menang atau kalah. Jika menang masih tahu diri, jika kalah tetap sadar diri. Sehingga pesta demokrasi ini bisa bermartabat di mata dunia dan bermanfaat untuk seluruh anak bangsa.Â
Setelah sekian waktu bertarung untuk mengunggulkan jagonya masing-masing dalam perang-perang urat syaraf yang kecil, maka perlu beristirahat sejenak untuk memasuki peperangan dengan skala nasional, bahkan internasional.Â
Begitu sarkasmekah ungkapan ini? Ini hanya untuk menunjukkan kengerian yang bakal terjadi, jika para pemimpin lepas kendali atas massanya. Sebuah ungkapan dari Kenya berkata, "Jika para gajah berperang, maka rerumputan yang merasakan kesakitan."
Masa tenang, biarlah membuat pikiran tenang, hati tenang, niscaya hidup juga tenang. Mencoblos dengan tenang dan menantikan hasilnya juga dengan tenang. Mengingat kita ini bersaudara, sebangsa dan setanah air. Indonesia damai, maka rakyat ikut damai pula.
Marilah tenang menghadapi hidup ini. Rejeki telah ada yang mengatur. Sebuah ungkapan sekitar 3000 tahun lalu berkata, "Sia-sialah kamu bangun pagi-pagi dan duduk-duduk sampai jauh malam, dan makan roti yang diperoleh dengan susah payah - sebab Ia memberikannya kepada yang dicintai-Nya pada waktu tidur. Berkat Tuhan-lah yang menjadikan kaya, susah payah tidak akan menambahinya.-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H