Mohon tunggu...
Asaf Yo
Asaf Yo Mohon Tunggu... Guru - mencoba menjadi cahaya

berbagi dan mencari pengetahuan. youtube: asaf yo dan instagram: asafgurusosial

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Privilege Siswa Sekolah Mahal dalam Mencapai Kesuksesan

14 Agustus 2023   23:24 Diperbarui: 14 Agustus 2023   23:31 431
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lanjut part dua, kebetulan saya suka baca di quora sih wkwkwkkwkw. Sekarang saya ingin bahas apakah ada privilege seseorang hanya dari sekolah yang dimiliki? Maka bagi saya jawabnya ada. 

Mengapa tiba-tiba bahas ini, gara gara dulu Maudy Ayunda bisa kuliah di Harvard Amerika orang seolah-olah kaget dan heboh kok bisa ya masuk di kampus ternama di Amerika Serikat sana, tapi setelah melihat rekam jejaknya dari sekolah SD SMP dan SMA, orang harusnya tidak kaget mengapa dia bisa kuliah di kampus ternama. 

Dari info yang pernah saya baca, lebih dari 90% orang yang masuk di universitas Harvard rata-rata justru berasal dari sekolah swasta, bukan dari sekolah negeri. 

Jadi apa yang membuat sekolah tertentu memiliki privilege selangkah lebih maju dibanding sekolah-sekolah lain. Nah, ini menurut kacamata saya sebagai seorang pendidik yang pernah mengajar di sekolah mahal berstatus SPK.

Sebelumnya, pernah tidak kita perhatikan, posisi duduk siswa menentukan pemahamannya akan sebuah nilai? Baris pertama umumnya siswa-siswa rajin yang benar-benar fokus terhadap materi yang diajarkan oleh guru yang bersangkutan. 

Semakin ke belakang, umumnya mayoritas diisi oleh siswa yang secara kemampuan cenderung lemah di akademik. Ini hanya pemahaman umum, jadi jangan bahas ah, enggak juga buktinya ini itu ini itu, saya paling malas kalau bahas kasus perkasus. Saya lebih suka bahas secara umum.

Semakin kita duduk di depan, maka informasi yang kita dengarkan juga akan semakin jelas, dan semakin fokus. Namun semakin posisi di belakang, semakin banyak gangguan yang muncul di sekitar kita, baik oleh sesama murid yang mengajak ngobrol, atau godaan untuk tertidur, atau suara guru yang kurang jelas, dan lain sebagainya. 

Hal ini berdampak daya serap materi siswa yang duduk di belakang umumnya akan lebih rendah dibanding siswa yang duduknya selalu duduk di depan sendiri dan langsung berhadapan dengan guru. 

Apakah itu berarti semua yang duduk di belakang tidak bisa mendapatkan pemahaman materi yang sama seperti siswa yang duduk di depan sendiri tetapi bisa , namun dibutuhkan kekuatan lebih agar bisa menyamai siswa-siswa yang duduk di depan.

Begitu juga jalur privilege yang dimiliki seseorang hanya dari sekolahnya, bisa memengaruhi kesuksesannya di masa yang akan depan. SPP siswa yang nominalnya diatas dua jutaan misalnya, dengan yang nominal hanya 300 ribu, tentu akan mendapatkan berbagai fasilitas yang berbeda. 

Sekolah dengan SPP yang mahal, pasti akan mendapatkan fasilitas yang lebih baik dalam segala hal. Misalnya dalam hal internet, sekolah mungkin sudah menyediakan fasilitas internet yang kencang dan mudah diakses oleh semua orang. belum lagi guru-guru yang mengajar, pasti sudah diberikan berbagai fasilitas yang berbeda. 

Guru-guru biasanya diberikan standar yang berbeda dengan yang guru guru dari sekolah yang biasa, baik dalam hal penampilan, penguasaan materi, pengembangan materi dan lain sebagainya. Mengapa? Karena ini berkaitan dengan penilaian dari guru-guru tersebut untuk kedepannya.

Berkaitan dengan tugas yang diberikan, biasanya tugas yang diberikan sih lebih banyak ya, hehehehe.Tantangan yang diberikan juga lebih banyak. Materi yang diberikan juga bukan sekadar dari materi berdasarkan kurikulum nasional, tapi menggunakan kurikulum luar negeri. Tentu ada perbedaan antara materi luar negeri dengan materi lokal. 

Kemudian apa lagi? Siswa-siswa di sekolah yang mahal cenderung sudah dibiasakan dengan menggunakan bahasa asing, dalam hal ini bahasa inggris (plus mandarin kalau mayoritas tionghoa). 

Pemahaman bahasa inggris bukan sekadar diterapkan di dalam kelas seperti yang umumnya dilakukan siswa siswa yang belajar bahasa inggris pada mata Pelajaran bahasa inggris, tapi juga diterapkan di luar kelas.

Buktinya? Di sekolah-sekolah yang mahal, dari pengalaman saya, sudah biasa saya temukan siswa bercakap-cakap dengan bahasa inggris, campur-campur dengan bahasa mandarin, bahasa indonesia, dan bahasa jawa sekaligus. Tidak ada yang protes. 

Begitu juga dengan gurunya yang Sudha biasa dalam bercakap cakap dengan berbagai bahasa yang berbeda. Tidak ada yang diprotes. Sangat berbeda dengan sekolah biasa yang kalau kita coba berbicara dengan bahasa inggris di luar jam Pelajaran, pasti aka nada yang komen, tidak usah sok inggris, pakai bahasa indonesia saja dan lain sebagainya. Padahal imu bahasa asing tidak bisa hanya sekadar belajar di dalam kelas tanpa dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.

Hal ini ditambah dengan guru guru yang tidak hanya guru lokal, tapi juga guru dari luar. Ah, masalahnya apa kalau guru dari luar? Masalahnya guru asing, tentu saja memiliki cara pandang yang berbeda dengan guru lokal. Kebetulan dulu saya pernah mengenal guru guru yang berasal dari Australia, Amerika, dan Filipina. 

Guru-guru asing dengan kultur yang berbeda, mengenalkan saya pada cara pandang baru , kehidupan dari luar negeri yang bukan dari sekadar katanya, tapi memang mendengar langsung kultur dari Masyarakat asing. Guru-guru asing tentu saja membawa pemahaman baru dalam hal belajar bahasa inggris misalnya. Biar bagaimana pengucapan guru asing yang merupakan native speaker dengan guru bahasa inggris lokal pasti berbeda.

Nah, belum lagi fasilitas konsumsi yang disediakan oleh sekolah. Pengalaman pribadi saya, kantin sekolah itu tidak diijinkan untuk menjual minuman bersoda. Selain itu juga tidak boleh ada makanan gorengan yang dijual di kantin. 

Seberapa besar sih efek makanan bersoda dan makanan gorengan? Ya silahkan saja browsing browsing mengenai dampak negative dari dua jenis konsumsi ini kalau dilakukan dalam jumlah yang besar. 

Belum lagi, di depan sekolah tidak diijinkan orang jualan makanan apapun itu. Anak-anak tidak diijinkan untuk mencoba keluar dari sekolah hanya untuk beli jajan di luar sekolah. Konsumsi makanan yang berbeda ini tentu lebih sehat. Bahkan, banyak sekali siswa saya yang sudah membawa makanan dari rumah, dimana makanan yang dibawa kalau saya lihat itu termasuk makanan yang sehat, ada yang bahkan sejak masih SMP kelas 7 saja sudah konsumsi nasi merah , wkwkwkwkw.

Jalur lain yang bisa dilihat adalah adanya Pelajaran tambahan sesudah sekolah. Mungkin bagi banyak anak, hal ini merupakan sebuah siksaan. Kalau bisa ya sesudah sekolah terus jalan-jalan kemana gitu. Tapi masalahnya, anak-anak dari sekolah ini sesudah sekolah masih disibukkan dengan berbagai kegiatan tambahan. 

Dari les matematika, fisika, kimia, basket, bela diri, renang, mandarin, coding dan lain sebagainya. Loh, mereka kuper dunk? Tidak seperti itu. Mereka tetap anak-anak gaul seperti pada umumnya, tapi mereka dibebani dengan berbagai kegiatan lain, ada yang hanya les seminggu sekali, ada yang dua kali, bahkan ada yang enam hari dalam seminggu full les. Ada yang sampai jam enam, ada yang sampai jam tujuh, bahkan ada yang sampai jam 9 malam. Dalam sehari ada yang ikut les tiga jenis les berbeda, entah les matematika, mandarin, atau inggris, tergantung kemampuan anak dan finansial orang tuanya.

Terkesan menyiksa? Terkesan mengerikan? Bisa jadi begitu. Tapi tiba-tiba saya teringat teori yang dikemukakan oleh emile Durkheim (dalam Pelajaran geografi, hehehe) bahwa suatu wilayah dengan kepadatan penduduk yang tinggi maka tingkat persaingan menjadi tinggi dalam usaha mempertahankan diri. Untuk memenangkan persaingan, tiap orang berusaha untuk pendidikan dan keterampilannya serta mengambil spesialisasi tertentu. Hal ini sangat jelas terlihat di daerah kota besar maupun kota metropolitan.

Nah, saya rasa, para orang tua ini tahu bahwa mereka perlu mempersiapkan anaknya dengan berbagai keterampilan yang ada untuk bisa memenangkan persaingan. Mereka tidak perlu tahu menurut teori ABCD untuk menerapkan ini. Sepanjang mereka memiliki resource untuk biaya berbagai les-les, maka itu bukan menjadi masalah besar.

Jalur privilege ini juga bisa dilihat dari lingkungan pergaulan. Siswa-siswa yang masuk di sekolah mahal, umumnya juga pasti keluarga-keluarga yang berasal dari kelas menengah atas. 

Keluarga yang secara ekonomi sudah cukup mapan. Keluarga dengan status sosial yang sama pasti memiliki cara berpikir, cara pandang dan kehidupan yang tidak jauh berbeda. Otomatis, mereka juga memiliki target yang sama. 

Belum lagi, Masyarakat dengan kehidupan ekonomi yang sama, dalam banyak hal juga pasti akan nyambung dalam banyak hal. Tidak ada semacam kultur shock dari salah satu pihak kalau bertemu dan berbincang-bincang karena hidup dalam lingkungan dan budaya yang sama. Sesama orang kaya ini menciptakan jaringan yang kelak bisa diharapkan untuk jangka panjang.

Dengan priviledge yang dimiliki anak-anak dari keluarga kaya dan di sekolah mahal, ibaratnya mereka sudah beberapa langkah lebih maju dari anak-anak yang berasal dari keluarga biasa dan sekolah biasa. Tentu saja bukan berarti semua murid dari sekolah mahal pasti sukses, sementara sekolah yang biasa pasti gagal. 

Tidak seperti itu, tapi sekolah mahal sudah memberikan berbagai hal yang lebih baik yang membuat lulusannya selangkah lebih maju dibandingkan orang-orang yang dari kalangan kelas biasa.  Tetap orang dari kalangan manapun harus disertai usaha dan doa. Namun, orang yang asupan gisi sangat bagus dengan orang yang asupan gisi terbatas pasti memberikan hasil yang berbeda. 

Jadi, mau tidak mau, privilege akan membuat hidup seseorang menjadi jauh lebih mudah dalam mencapai keberhasilan dalam hidup dibandingkan Masyarakat ekonomi kelas bawah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun