Apa yang sedang viral sekarang ini? Tentu masalah antara seorang dokter kecantikan dengan anak yang diangkat jadi anak asuhnya. Kukira dulu ini bakal happy ending, tapi ternyata tidak berakhir happy ending.Â
Si anak akhirnya mundur dan si dokter marah dan meminta ganti rugi biaya 40 juta. Yup, ini adalah masalah antara dr. Richard dengan anak muda bernama Farel. Si anak pun bingung mau bayar pakai apa uang 40 juta , mau jual ginjal? Gak tau ya sekarang gimana, karena kisah in ikan terus berlanjut.
Banyak hujatan tentunya yang tertuju kepada si Farel ini. Bagaimana pendapatku? Ya kaget juga dengan keputusan yang diambil oleh si anak. Sebagai seorang pendidik, ada perbedaan antara sebuah sekolah yang mahal dengan sekolah yang biasa.Â
Dari yang kudengar, sekolah yang dimasuki oleh Farel yaitu Xaverius adalah sebuah sekolah swasta yang cukup bergengsi (dan mahal pastinya) di Palembang. Sekolah yang mahal bukan sekadar untuk gengsi-gengsian, dimana di dalamnya ada tuntutan yang lebih dari yang seharusnya.
Sekolah mahal pasti menerapkan kurikulum yang bisa jadi berbeda, penanganan yang berbeda termasuk sistem belajar yang berbeda. Hal ini ditambah dengan lingkungan sosial anak yang juga berbeda.Â
Pengalaman pribadi, sekolah yang mahal kebetulan adalah sekolah yang didominasi murid-murid keturunan tionghoa dari kelas menengah ke atas. Kita bisa bayangkan apa yang terjadi jika siswa dari kelas bawah mencoba masuk di komunitas seperti ini? Bisa jadi ada perasaan minder, tidak percaya diri. Dulu, jangankan laptop, memiliki sebuah laptop apel digigit saja merupakan sebuah kewajiban. Bagaimana dengan yang tidak mampu?
Hal ini ditambah dengan kurikulum yang digunakan. Bisa jadi kurikulum yang digunakan bukan sekadar kurikulum nasional, tapi juga kurikulum internasional, misalnya kurikulum Cambridge.Â
Adanya kurikulum luar mengharuskan siswa untuk menguasai bahasa asing dalam hal ini adalah bahasa inggris dengan baik untuk bisa memahami materi dengan baik.Â
Sekolah yang mahal, untuk menjaga mutu biasanya memberikan nilai yang tidak terlalu mudah kepada siswa (ini pengalaman pribadi, jadi tidak bisa disama ratakan). Mengapa hal ini terjadi? Karena sebuah pertanggung jawaban dari sekolah untuk orang tua bahwa anak mereka dididik dan diajar dengan benar.
Sekolah mahal justru berusaha menerapkan aturan yang sudah dibuat dengan baik sehingga membuat orang tua percaya bahwa sekolah benar-benar mendidik muridnya.Â
Misalnya ada aturan yang memaksa mereka untuk mengeluarkan murid, bagi sekolah biasa mungkin ini benar-benar sebuah tantangan, namun bagi sekolah yang pernah saya alami, mereka berani untuk menerapkan hal itu. Jangan sampai mengira bahwa orang tua sudah membayar mahal maka sekolah bisa didikte oleh murid. Oh tidak seperti itu, kalau berdasar pengalaman saya.
Murid-murid yang pernah saya ajar di sekolah mahal tersebut, hampir tidak ada yang nganggur sepulang sekolah. Mereka sudah disibukkan dengan berbagai les-les yang tentu membutuhkan biaya mahal. Ada yang seminggu sekali, bahkan ada yang hampir tiap hari kecuali hari sabtu. Saya sebagai gurunya saja geleng-geleng.Â
Terlepas dari tekanan orang tua terhadap anak, saya melihat dari sudut pandang lain, bahwa orang tua berusaha memberikan fasilitas yang terbaik terhadap anak, fasilitas baik sekolah maupun fasilitas penunjang mulai dari laptop dan juga berbagai les tadi. Les les tadi bisa les Pelajaran biasa, bisa juga les yang mengasah skill yang lain.
Saya melihat orang tua berpikir jangka panjang bahwa semakin ke depan, tingkat persaingan itu semakin ketat. Untuk bisa memenangkan persaingan, mereka harus memiliki hal-hal lain yang dibutuhkan dan tidak dimiliki oleh competitor.Â
Maka dari itu, orang tua memberikan Pelajaran tambahan di luar sekolah untuk mempersiapkan sedini mungkin agar anak siap menghadapi kerasnya persaingan di masa depan. Ada yang Cuma dua jam. Ada yang bahkan baru selesai jam 9 malam , padahal les dimulai dari jam 4 sore. Hmmm, bisa jadi kalau saya jadi anaknya, saya pasti akan muntah-muntah, tapi kalau disisi ortu bisa jadi mereka takut anaknya tidak mampu menjadi pemenang dalam persaingan.
Nah, dalam konteks Farel dan Dr. Richard ini, saya melihat Richard sudah memberikan berbagai sarana yang sekiranya dibutuhkan untuk bisa menunjang proses belajar dari Farel. Namun, apa daya, Farel yang mungkin berasal dari sekolah swasta biasa mengalami shock dengan cara belajar yang sangat berbeda antara di sekolah lama dengan sekolah baru.Â
Apalagi di usia yang masih 17 tahun, dengan pemikiran yang masih labil, tentu dia tidak mampu mengambil keputusan dengan matang. Saya sekadar melihat tiktoknya atau melihat video tentang dia, maka saya tidak mampu berkata apa-apa. Saya berpikir anak ini memang mungkin ingin cita-cita tinggi tapi belum dibarengi dengan usaha yang sepadan, padahal fasilitas sudah ada.
Apakah keputusan meminta ganti rugi Richard itu salah? Ya bagi saya sih tidak salah, karena dia sudah keluar uang untuk mencoba membantu anak dari keluarga tidak mampu agar mampu menggapai cita-citanya, tapi ternyata tidak sesuai harapan, bahkan menyerah dalam hitungan hari. Kalau anak seperti ini dibiarkan, maka akan banyak orang yang tidak belajar untuk berterimakasih akan suatu hal yang sudah diberikan. Dia tidak akan belajar untuk bertanggung jawab, seenaknya sendiri, tidak mau berusaha dan berkomitmen dengan baik.Â
Saran saya, saat kamu sudah dibantu dan diberikan jalan istimewa, maka manfaatkan hal tersebut untuk masa depan, karena tidak semua anak mampu mendapatkan hal tersebut. Bagaimana dengan pendapat anda? Silahkan koment ya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H