Beberapa waktu lalu di bulan Juli, MA mengesahkan aturan yang melarang hakim untuk tidak mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan antar-umat beragama yang berbeda agama dan kepercayaan. Larangan ini disahkan oleh ketua MA, Muhammad Syarifuddin pada tanggal 17 Juli 2023. Rujukan MA ini berdasarkan UU no 1 tahun 1974 tentang perkawinan di pasal 2 ayat 1, yang berbunyi perkawinan adalah sah , apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Maunya sih aku langsung upload di bulan juli, tapi menunggu bulan Agustus dulu deh, hehehe.
Perkawinan beda agama ini bagi saya sangat rumit dan memaksa setiap orang untuk pindah agama hanya agar dapat menikah. Memang sih,tujuan perkawinan dengan agama yang sama ini untuk meminimalisir dampak buruk yang bisa ditimbulkan, tapi bagaimana kalau ada agenda-agenda lain diluar itu (hmmm teori konspirasi ala ala deh, wkwkwkwkw).Mungkin bagi pemeluk agama yang mayoritas di indonesia, hal ini bukan merupakan sebuah masalah yang besar karena jumlahnya yang mayoritas jadi peluang untuk melakukan pindah agama dari pemeluknya ke agama lain jauh lebih kecil. Namun, bagaimana dengan pemeluk agama yang minoritas?
Saya membayangkan diri saya ditempatkan di suatu kampung atau tempat dimana hanya saya satu-satunya orang yang Beragama A di kampung tersebut, sementara semua penduduk kampung tersebut beragama B. apakah itu berarti saya tidak boleh menikah? Sudah hampir dipastikan sayalah yang harus mengalah dengan pindah agama ke agama B karena saya minoritas sementara lingkungan pergaulan saya adalah penduduk kampung yang beragama B. Hampir tidak mungkin bisa menemukan pasangan dari kampung yang mau pindah agama ke A, yaitu agama A. pernikahan dan berkembang biak (ups bahasanya) dihalangi oleh aturan harus seagama. Padahal indonesia tidak hanya enam agama lho, tapi diluar itu ada banyak jenis kepercayaan yang dianut oleh banyak orang juga.
Sudah cukup banyak saya mendengar (bahkan dilingkungan kerabat sendiri) pernikahan beda agama yang memaksa seseorang untuk berpindah keyakinan agar jalannya mulus. Pasti pertanyaannya, ya salah sendiri , memilih pasangan yang beda agama, kan bisa nyari yang seagama! Masalahnya yang seagama bagi kelompok minoritas pilihannya lebih terbatas. Ini saya masih mending karena sebagai umat kristiani dengan 10 persen penduduk Indonesia. saya bayangkan bagaimana dengan umat Buddha maupun Kong Hu Chu dalam mencari jodoh. Tidak segera ketemu jodoh yang sesuai (seperti agama) sementara usia terus bertambah dan akhirnya bertemu yang sreg di hati adalah yang berbeda agama dan akhirnya harus convert ke agama lain.
Masalahnya tidak berhenti sampai di situ. Orang-orang yang berpindah agama ini, pada tahap tahap awal pindah agama sering mengalami goncangan batin sendiri. Bayangkan kamu dididik dalam agama Kristen selama puluhan tahun, kemudian karena situasi pernikahan , kamu dituntut untuk mengubah agama, belajar agama baru. Mempelajari agama baru ini tidak semudah membalikkan telapak tangan langsung percaya lho. Hal ini disebabkan karena nilai nilai kristiani sudah tertanam kuat melalui proses sosialisasi dan tiba-tiba harus menerima nilai-nilai agama baru yang berbeda sekali dengan nilai-nilai lama. Pada saat awal menikah, dan convert biasanya yang dipikirkan adalah yang penting segera sah menikahnya, nanti urusan mulai belajar agama adalah urusan belakangan. Itu tidak ada yang salah.
Masalah akan semakin rumit kalau sudah memiliki anak. Mau tidak mau dia harus mengubah mindsetnya segera dari agama Kristen ke agama lain, karena berkaitan dengan role model bagi anak. Karena bagi saya, idealnya  bagi orang tua untuk sama-sama mendidik anak dengan penanaman nilai yang sama. Akhirnya pergulatan batin orang-orang yang convert ke agama lain itu akan semakin kuat. Disisi lain ingin menjadi role model bagi anak, di sisi lain belum yakin dengan ajaran agama yang dianut. Itu sangat melelahkan mental lho.
Memang betul idealnya pernikahan itu seagama, karena agama saya memang mengharuskan itu. Namun, setahu saya yang mengharuskan pernikahan dengan agama sama itu hanya agama samawi saja deh, sementara di luar itu lebih fleksibel aturannya. Yah, wajar sih, agama samawi itu kan agama yang cenderung ekspansif memperbanyak jumlah pengikut, dan meminimalisasi pengikut yang keluar. Salah satu cara yang paling mudah adalah memaksa orang untuk masuk ke agamanya dengan jalan melalui perkawinan. Bukankah Sejarah membuktikan, proses perubahan agama di Indonesia dari zaman pra Sejarah ke Hindu Buddha, ke Islam, maupun ke Kristen rata-rata banyak yang terjadi karena faktor pernikahan? Kamu menikah denganku, maka kamu harus mengikuti kepercayaanku. Sementara orang yang bucin dan dimabuk cinta ya ok ok saja yang penting aku bisa memilikimu. Selesai.
Namun, saya lebih suka bertindak netral. Saya tidak ingin melepaskan agama saya karena saya memang percaya itu. Pergaulan saya yang memaksa diri saya berinteraksi dengan banyak orang dari berbagai agama dan keyakinan saya membuat saya berpikir, buat apa memaksa orang lain untuk mengikuti agama saya hanya karena cinta. Sepertinya sungguh tidak adil bagi saya untuk membuat orang menjadi pindah agama hanya karena cinta. Bukankah seharusnya agama merupakan pilihan individu yang negara tidak boleh memaksanya. Saya percaya, orang yang pindah agama itu lebih baik karena dia memang percaya bahwa agama tersebut yang lebih baik dan mampu membawa ke keselamatan, daripada pindah agama karena demi menikah dan memiliki keturunan. Saya bukan orang beragama yang garis keras soalnya, hehehe. Dalam hal-hal tertentu saya lebih fleksibel dalam melihat perbedaan agama.
Jika perbedaan agama dianggap sebagai bentuk toleransi, mengapa negara terus memaksa seseorang untuk berganti keyakinan karena pernikahan? Akan ada yang menjawab, loh, kan demi kebaikan bersama, wong yang seagama saja sering bentrok, apalagi yang beda agama. Ok, namun perlu diingat, seseorang menikah itu dianggap sudah dewasa dan dia akan tahu konsekuensi dari adanya pernikahan beda agama. Biarlah mereka yang memutuskan dan menyelesaikan masalah tersebut karena mereka berdua yang menjalani. Negara cukup mengatur keyakinan beragama, tapi tidak seharusnya mengatur ke ranah yang lebih dalam sampai memaksa seseorang untuk pindah keyakinan agar bisa menikah.
Balik lagi, pergaulan yang begitu luas membuat kita bertemu banyak orang dan ada kemungkinan dari orang -orang tersebut kita akan jatuh cinta. Mengapa harus dibatasi agamanya. Sudah cukup saya melihat orang-orang yang harus pindah agama agar bisa menikah. Kalau boleh memilih, orang-orang tersebut soalnya tidak ingin pindah agama sih, namun situasi memaksa itu. Biar bagaimanapun kalau stok terbatas (jika kita benar-benar sangat amat minoritas) sementara keinginan untuk menikah semakin kuat, maka tinggal tunggu waktu untuk pindah agama karena usia terus bertambah jadi akhirnya pondasi agama yang harus dikorbankan demi bisa menikah.
Dan endingnya, saya sih setuju setuju saya dengan pernikahan beda agama, biarkan mereka yang memilih mana yang terbaik dalam hidup mereka. Jika akhirnya salah satu pihak memutuskan untuk pindah agama biarlah itu terjadi karena dari dalam hati mereka sendiri , bukan karena sejak awal harus pindah agama demi bisa menikah. Terimakasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H