Mohon tunggu...
Asaf Yo
Asaf Yo Mohon Tunggu... Guru - mencoba menjadi cahaya

berbagi dan mencari pengetahuan. youtube: asaf yo dan instagram: asafgurusosial

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pernikahan sebagai Status di Komunitas LGBT (2)

26 Juli 2023   13:25 Diperbarui: 26 Juli 2023   13:31 260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masih berlanjut dengan artikel sebelumnya yang berkaitan dengan pernikahan heteroseksual di kalangan LGBT. Lmumpung lagi niat membuat tulisan, hehehe. Tiba-tiba teringat film arisan, dimana ada tokoh sepasang suami istri yang sudah memiliki anak. Suami istri itu diperankan oleh Sarah Sechan dan suaminya adalah Pong Harjatmo. Tidak disangka ternyata suami istri adalah pasangan gay dan lesbi yang memutuskan menikah dan memiliki anak. Apakah setelah menikah, mereka jadi normal? Hmm dimata masyarakat jelas mereka adalah pasangan normal dan ideal karena memiliki anak juga. tapi di balik itu, mereka memiliki pasangannya masing-masing, pasangan sejenis tentunya. Tokoh sang suami jadi pacarnya Tora Sudiro alias Sakti, sementara Sarah Sechan alias Dokter Joy memiliki pacar sejenisnya yaitu siapa ya, tokoh yang diperankan Atiqah Hasiholan. Dua pacar ini tidak dijelaskan pacar atau tidak sih, tapi dilihat dari gerak gerik mereka berdua yang tidak umum untuk ukuran sesama wanita maka penonton menyimpulkan mereka adalah sepasang kekasih lesbian gitu.

Pikiran tiba-tiba meloncat kepada suatu artikel yang pernah diangkat di Suara Merdeka bertahun tahun lalu saat saya masih kuliah. Mungkin tahun 2000-an. Artikel itu membahas fenomena pernikahan yang terjadi diantara homo dan Lesbi dengan lokasi di Semarang. Tidak hanya satu atau dua tapi ada beberapa kasus sehingga akhirnya menjadi sebuah liputan khusus. Mengapa mereka menikah? Ya jelas, kedua belah pihak sudah dituntut untuk segera menikah dan menghasilkan keturunan. Apalagi yang menjadi studi kasus adalah orang-orang yang secara pekerjaan dan finansial sudah cukup mapan. Akhirnya dibuat scenario untuk menikah dengan pasangan yang juga tidak normal.

Pertanyaannya kenapa mencari pasangan yang sama-sama tidak normal? Menurut pendapat saya (karena saya sudah lupa artikelnya juga) ya kedua belah pihak sudah mengenali kondisi pasangan masing-masing dan sama-sama saling membutuhkan. Bukan membutuhkan secara seksual, namun terutama saling membutuhkan untuk mendapatkan status dalam masyarakat sebagai seorang suami dan istri dalam masyarakat yang menuntut manusia harus selalu berpasangan dengan lawan jenis. Kedua belah pihak secara otomatis tidak akan berani menuntut pasangannya untuk menjadi normal melakukan HS karena sejak awal sudah mengetahui bahwa pasangan masing-masing adalah seorang gay dan lesbi.

Tidak ada yang dirugikan. karena kedua belah pihak akhirnya mendapatkan status dalam masyarakat dan tidak ada tekanan lagi untuk segera menikah. Bahkan punya anak. Lagi dan lagi perlu ditekankan, pemikiran orang awam adalah kalau gay dan lesbi pasti tidak akan bisa memiliki anak karena tidak nafsu dengan pasangannya. Aduhh, aku bingung menjelaskannya. Memiliki anak adalah pertemuan sel telur dan sel sperma. Membuat dua belah pihak terangsang secara seksual bagi saya sangat mudah sekali, tidak perlu bingung-bingung hanya karena seseorang gay dan lesbi. Dari berbagai film semi yang pernah saya liat, dari yang awalnya tidak nafsu namun karena terus mengalami rangsangan terus menerus akhirnya jadi bernafsu, dan itu adalah film semi yang normal, bukan yang khusus gay. Jadi mari mengubah mind set dan tidak perlu mengotak-ngotakkan gay lesbi tidak akan punya anak. Toh banyak juga kasus pria normal yang nafsu namun terkena impoten, mau dirangsang dengan cara apapun juga tidak akan bisa karena berkaitan dengan saraf-saraf yang perlu diperbaiki.

Pernikahan antara lesbian dan gay bagi saya merupakan pernikahan yang sangat amat ideal dalam mendapatkan status dalam masyarakat karena masyarakat juga tidak memiliki kecurigaan apapun kepada kedua belah pihak. Namun secara pribadi, pernikahan yang hanya merupakan sebuah sandiwara, maka apa yang bisa diharapkan? Cepat atau lambat saat dirasa sudah waktunya untuk berpisah maka akan berpisah alias bercerai dengan berbagai alasan yang dibuat , toh yang penting status sudah didapat. Tidak masalah menjadi seorang janda atau duda. Dengan mendapatkan status janda atau duda, setidaknya sudah mendapatkan legitimasi dari masyarakat bahwa mereka merupakan manusia normal yang pernah menikah. Kisah dibalik itu masyarakat juga tidak perlu tahu. Bukankah kita sering mendengar istilah kawin kontrak ? atau pacaran kontrak, jika konteksnya adalah selebritis yang membutuhkan legitimasi. Hehehehe

Namun, bagi saya pribadi, yang memandang pernikahan sebagai sebuah hal yang sakral, maka jelas saya tidak mampu menerima sistem seperti ini. Pernikahan bukan sekadar sebuah kawin kontrak yang kalau sudah bosan dan tidak cocok maka akhirnya perlu untuk putus. Pernikahan bagi saya adalah sekali untuk seumur hidup. Akhirnya kembali ke individu masing-masing, apakah menikah hanya untuk mendapatkan status atau untuk panggilan ibadah dan memenuhi tujuan Allah dalam hidupnya. Hanya orang tersebut yang bisa menjawabnya. Jika mereka memutuskan untuk menikah dengan pasangan yang normal, maka mereka akan berusaha untuk menjaga diri mereka agar tidak kembali ke jalan yang salah karena mereka memiliki beban keluarga, mereka memiliki "mata-mata" yang akan terus mengawasi kehidupan mereka sehingga kemungkinan mereka untuk menjadi liar dalam kehidupan LGBT akan bisa dikurangi.

Biasanya sih endingnya pasangannya akan mengetahui bahwa ternyata  sang partner terindikasi LGBT. Pernah saya membaca kesaksian orang-orang yang bisa lepas dari LGBT ini. Cepat atau lambat pasti pasangan akan tahu ada yang tidak beres dengan diri partnernya karena hidup 24 jam bersama. Pilihannya adalah mundur alias bercerai, atau berjuang sekuat tenaga untuk bisa mempertahankan rumah tangga dan melepaskan sang pasangan dari hubungan LGBT. Bukan sebuah usaha yang mudah karena memiliki tantangan yang sangat kuat. Namun kembali lagi, yang bisa menyelesaikan adalah sang pelaku sendiri.

Namun bagi saya, peluang seseorang untuk bisa lepas dari dunia LGBT akan lebih besar jika dia menikah dengan partner yang normal karena akan memaksanya untuk menepi, menghindari dari dunia seperti itu. Namun, jika sejak awal partnernya adalah sesama yang juga tidak normal, maka bagi saya, kemungkinan juga untuk bertobat dan menyadari bahwa dirinya salah pasti tidak mungkin. Kalau dalam firman Tuhan, hanya orang sakit yang membutuhkan dokter, orang buta menuntut orang buta maka sama-sama akan jatuh ke dalam kubangan. Kalau tidak ingin jatuh dalam kubangan maka yang menuntun orang buta haruslah yang tidak buta. Jadi, apa tujuan anda menikah bagi yang terkena LGBT? Apakah hanya sekadar status atau juga ingin lepas dari dunia LGBT? Pilihan ada di tangan anda.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun