Halo, sudah lama sekali saya tidak menulis di kompasiana setelah saya mutung (apa sih bahasa indonesianya mutung itu, kayak menyesal gitu kayaknya) hampir setahun. Sekarang saya sudah pulih dan semangat lagi untuk menulis di Kompasiana, hahahaha. Â Kali ini saya akan bahas film berjudul ngeri-ngeri sedap. Film yangs udah lama sih tapi kebetulan aku menonton seminggu setelah premiernya hehehe.
Waktu awal menonton film trailernya dan judulnya, tidak ada keinginan untuk menonton film ini, karena judulnya kok aneh, terus nanti kaitannya dengan isi ceritanya gimana ya? Tapi kemudian pikiran saya berubah setelah dua hari setelah premier banyak yang ngeriew bahwa film ini bagus dan layak tonton. Biasanya sih film bagus belum tentu komersil. Tapi tidak ada salahnya untuk menonton. Btw, filmnya mengandung spoiler jadi harap diperhatikan lho ya hehehehe.
Ok, cusss, akhirnya pergi ke bioskop di Surabaya. Yang nonton lumayan banyak, dilihat dari wajahnya sih wajah wajah khas Batak (menurutku lho). Tapi lanjut seperti apa jalan ceritanya ya. Nah, jalan ceritanya itu ada keluarga Batak dengan marga Purba di Danau Toba sana. Ayah ibu itu yang bernama Pak Domu dan Mak Domu , udah kangen sekali dengan ketiga anak lelakinya yang merantau di jawa. Tapi apa daya, ketiga anaknya dengan berbagai alasan tidak bisa pulang, bertahun tahun lho tidak pulang (bagian ini aku masih ragu, beneran itu, gak pulang 10 tahun , empat dan tiga tahun? Walau hanya pulang sehari gitu masak gak?)
Nah, Mak Domu dan Pak Domu ini punya empat anak, si sulung Domu, diikuti Sharma, Gabe dan Sahat. Anak yang tinggal di Toba hanya Sharma saja. Awalnya aku kira ini hanya masalah orang tua kangen aja, tapi seMakin diikuti ada banyak konflik terpendam yang kemudian muncul di permukaan semua setelah keluarga ini berkumpul. Oh iya lupa, Pak Domu sebagai kepala keluarga akhirnya membuat rencana untuk pura pura bertengkar dan mau bercerai dengan harapan ketiga anaknya yang dirantau jadi ingin pulang.
Ketiga anaknya memang pulang, namun pertemuan keluarga akhirnya berubah menjadi penghakiman. Konfliknya klise bagaimana orangtua memiliki pandangan yang berbeda dengan anak-anaknya. Orang tua yang selalu merasa bahwa pendapatnya benar dan pendapat anaknya salah. Mari kita bahas masalah yang dihadapi setiap anak di keluarga Purba ini.
Domu sebagai anak pertama sudah memutuskan untuk menikah dengan orang sunda. Hal yang sangat ditentang oleh Pak Domu. Pak Domu kuatir anaknya tidak akan menjaga tradisi dan budaya Batak kalau menikah bukan dengan wanita batak. Anak kedua, Gabe, memutuskan menjadi seorang comedian ternama di ibukota, padahal memiliki gelar sarjana hukum. Anak lelaki ketiga dan meruPakan si bungsu yaitu Sahat, masih ngurusin pertanian di suatu desa di Jawa dan belum mau  pulang. Padahal sebagai anak lelaki bungsu, sudah menjadi tradisi Batak agar Sahat pulang kampung untuk mengurus orang tuanya.
Bagaimana cara berpikir anak-anaknya? Bagi Domu, tidak masalah dengan siapa dia menikah, yang penting dia Bahagia walau bukan dengan satu etnik, toh menikah bisa dnegan adat Batak. Bagi Gabe, yang penting bisa cari duit dan berkecukupan, tidak masalah kalau tidak menjadi seorang jaksa atau hakim. Dan Bagi Sahat, bukan suatu keharusan untuk dia pulang dan mengurusi rumah serta orang tuanya ( bukan  durhaka ya, aku bingung ngomongnya gimana).
Konflik yang ada di sini sebenarnya konflik umum tpai menurutku sangat kerasa dengan budaya batak, karena di keluarga jawa aku tidak menemukan kasus seperti itu. Tiba-tiba aku ingat film lama berjudul demi Ucok, dimana ada seorang ibu yang ingin sekali anak perempuannya untuk segera menikah dengan lelaki Batak.
Misalnya pernikahan beda etnis, menurutku ini sangat khas banget. Kebetulan aku punya beberapa teman Batak yang memang mengatakan kalau anak laki-laki pertama haruslah menikah dengan sesama Batak karena berkaitan dengan pewarisan tradisi dan budaya. Sementara dalam keluarga Jawa, aku belum pernah atau jarang menemukan orang gagal menikah hanya karena pasangannya bukan etnis yang sama. Dalam budaya jawa biasanya lebih fokus pada bobot bibit bebet, hehehe intinya tidak melihat faktor etnis. Bahkan secara umum biasanya lebih fokus pada pekerjaannya mapan gak, bertanggung jawab tidak, agamanya taat gak, itu sih yang kuperhatikan.
Masalah pasangan beda etnis ternyata bukan kasusnya si Domu saja, tapi juga terjadi pada Sharma. Sharma yang sebelumnya pacarana dengan nuel, akhirnya harus kandas karena Pak Domu tahu bahwa Nuel meruPakan orang Jawa. Beberapa teman Batak yang aku kenal (tidak semua ya) bilang, kalau memang tidak bisa menikah dengan orang Batak, Maka opsi berikutnya adalah menikah dengan orang Tionghoa. Jadi opsi etnis lain itu opsi terakhir kalau sudah kepepet. (Ingat, ini kasus per kasus ya).
Bagi semua anak Pak Domu, Pak Domu merupakan seorang ayah yang otoriter, ayah yang merasa bahwa dia paling benar dan pendapatnya harus disetujui (untuk hal ini, hal yang sangat umum. Orang tua manapun cenderung untuk merasa benar dan yang lain salah). Bukan hanya di mata anaknya, tapi juga dimata istrinya alias Mak Domu. Suatu perceraian yang rencananya hanya pura-pura, akhirnya berubah menjadi ancaman serius kala Mak Domu memutuskan untuk pulang ke rumah opungnya alias orangtuanya.
Pak Domu yah, merupakan seorang kepala keluarga yang standar yang sangat memperhatikan citra dirinya di depan masyarakat. Bagaimana dia takut Namanya rusak kalau anaknya menikah bukan dengan orang Batak, takut anaknya lelaki bungsu tidak pulang, atau tidak menjadi hakim pengacara atau sejenisnya seperti orang Batak pada umumnya. Bahkan di depan Pak pendeta yangs edang lewat, dia harus kelihatan rukun dan mesra dengan segera menggandeng Mak Domu. Pak Domu merupakan tipikal bahwa dia harus terlihat perfect di mata masyarakat. Tidak boleh ada cela sedikitpun dari dia. Hal yang justru sebenarny jadi bibit masalah dalam keluarganya.
Oh iya, pas Mak DOmu pulang ke rumah orang tuanya, akhirnya Pak Domu dan keluarganya menjemput Mak Domu agar mau balik ke rumah, tapi Mak Domu menolak, karena yang seharusnya menjemputnya bukan keluarga Pak Domu yang ini, (orang tua dll) tapi keluarga yang lain. Pada titik ini, mau tidak mau Pak Domu harus mulai belajar berdamai dengan situasi dan memulihkan hubungan dengan anak-anaknya agar bisa menjemput pulang Mak Domu. Satu persatu anak lelakinya didatangi Pak Domu di Tanah Jawa. Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â
Film ini grafiknya bagus sih, dari awalnya ada kelucuan Maka seMakin lama konflik Makin terasa dan akhirnya endingnya cukup bagus walau menurutku terlalu cepat. tapi kalau gak cepat, bukan film Namanya hehehe. Penyelesaian konfliknya menurutku jadi cukup sederhana , padahal dari yang kutahu penyelesaiannya tidak sesimpel itu sih kalau denger cerita temen-temen Batak, hehehe. Para pemain cukup bagus, bahkan semuanya meruPakan tokoh comedian (kecuali Arswendy yang meruPakan actor beneran). Namun, oleh Bene Dion, para comedian diminta untuk tidak banyak melakukan improvisasi, tapi sesuai dengan naskah yang ada.
Unsur komedi dan drama sesuai dengan porsinya. Bagaimana Mak Domu dan Pak Dom uterus berpura pura dan mengulur waktu karena ada upacara Sulang-sulang Pahopu agar mereka bisa mengikuti upacara adat plus karena Mak Domu masih kangen dengan ketiga anak lelakinya. Pas adegan Sharma yang nangis menceritakan semuanya di depan keluarganya itu meruPakan momen yang sangat sedih menurutku. Bagaimana dia harus putus hubungan  di depan Domu, bagaimana dia harus mengubur mimpinya sekolah masak dan menjadi PNS di depan Gabe karena keinginan Pak Domu. Atau bagaimana dia harus mengurus orang tua di depan Sahat (karena harusnya Sahat lah yang secara adat mengurus orang tua dan rumah keluarga).
Film ini dibintangi oleh Arswendy Nasution, Tika Panggabean, Boris Bokir, Gita Bhebita, Lolok, Indra Jegel sebagai pemeran utamanya. Sebagai sebuah film dengan nuansa budaya Batak, Maka film ini perlu ditonton untuk memahami budaya lain, dan aku pribadi suka dengan film film yang bertema budaya etnis lain karena menambah wawasan. Buat bene Dion, selamat karena film ini menjadi film kedua darinya yang mampu menembus sejuta penonton setelah sebelumnya lewat film Ghost Writter. Mengejutkan juga film ini mampu menembus satu juta penonton di hari 11. Ernest Prakasa pasti sudah mengajarkan ilmunya dengan baik pada Bene. Jadi, kalian sudah menonton film ini belum? Yuk nonton film ini.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI